Senin, 22 Agustus 2011

Sepak Bola Nasional, Mau Kemana?
terbit diharian wawasan edisi 22 Januari 2011



Euforia piala AFF memang sudah berlalu. Kejuaraan sepakbola akbar yang sempat menghipnotis mayoritas penduduk Indonesia itu memang layak mendapat apresiasi publik. Setelah sekian lama sepakbola Indonesia kehilangan simpati masyarakat, perhelatan beberapa waktu lalu seolah mengembalikan semangat baru bagi sepakbola nasional. Rakyat terpikat. Tak peduli pecinta bola atau bukan, golongan ekonomi lemah atau kuat, penguasa ataupun rakyat jelata. Semua kalangan dibuat terkesan oleh aksi impresif Firman Utina dkk. Momen tersebut menggambarkan betapa indah sebuah persatuan dan kesetaraan_dimana penguasa serta rakyat jelata tersenyum dalam senyum yang sama. Senyum kebanggaan terhadap sebelas anak bangsa yang berjuang dibawah panji garuda Indonesia. Rasa nasionalisme pun menemukan tempatnya, setelah sekian lama tersesat akibat terhadang kondisi bangsa yang layaknya pesakitan.

Sayangnya, lagi-lagi rasa bangga terhadap timnas Indonesia itu berbanding terbalik dengan pengelolaan terhadap sepakbola nasional. Dugaan politisasi, korupsi seolah selalu mewarnai dunia sepakbola kita. Tak terkecuali pada masa terselenggaranya piala AFF. Hal ini tak ayal, menimbulkan kekecewaan terhadap kinerja PSSI sebagai induk organisasi sepakbola dinegeri ini. Kalimat “Turunkan Nurdin!” atau “Timnas yes, Nurdin no” menjadi komentar populer yang bahkan lazim menjadi yel-yel para suporter. Rasa kecewa inilah yang mendasari ketidakpercayaan serta ketidakpedulian terhadap kebijakan PSSI. Ironisnya bak anjing menggonggong kafilah berlalu, petinggi PSSI yang sering mendapat umpatan publik itu tetap saja “ongkang-ongkang” di kursi jabatannya. Maka tak heran jika sebagian pihak (baca:masyarakat) yang peduli terhadap perkembangan sepakbola menggagas alternatif baru berupa diadakannya kompetisi Liga Primer Indonesia (LPI).

Namun siapa sangka, niat baik penggagas LPI berseberangan dengan PSSI selaku induk organisasi yang memegang otoritas pembinaan sepakbola di negeri ini. Tudingan bahwa LPI , ilegal,LPI mengacak-acak sepakbola nasional,LPI tak tahu etika organisasi dan beragam tuduhan lainnya dilontarkan beberapa pembesar PSSI yang tujuannya tak lain untuk menjegal kiprah LPI. Tak tanggung-tangung, bahkan pemain bola yang bergabung dengan LPIpun terkena imbasnya yakni sangsi tak bisa masuk timnas. Tetapi LPI tetap bergeming. Jurus jitu berupa “reformasi total pembinaan sepakbola nasional” menjadi senjata ampuh untuk melegitimasi keberadaan LPI.

Gayungpun bersambut. Sebagian klub besar tanah air hengkang dari LSI yang selama ini bernaung dibawah PSSI. Mereka yang tak puas terhadap kinerja PSSI selama ini memilih bergabung ke LPI. Sebagian kalangan menilai LPI sebagai alternatif baru untuk memperbaiki kebobrokan pengelolaan sepakbola nasional. PSSI pun semakin kebakaran jenggot. Tak terima organisasinya disaingi, PSSI lantas menyerang untuk menghalangi terselenggaranya liga primer. Jurus pamungkas berupa Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2005 yang digunakan untuk menghadang sepak terjang LPI semakin menambah panas perdebatan.



Sarat Kepentingan

Mencermati dinamika sepakbola di negeri ini memang kadang menggelikan. Beragam peristiwa dan kasus seputar sepakbola kerap menimbulkan polemik. Baru saja masyarakat dibuat bangga oleh kegemilangan timnas di piala AFF. Bersatu memakai kostum merah dengan lambang garuda menempel didada, kini kembali harus dihadapkan pada konflik beberapa kalangan elit. Bukankah hal semacam ini sangat menyedihkan?

Demikian pula jika mencermati kasus LPI vs PSSI yang kini masih bergulir. Hemat penulis, inti masalah sebenarnya adalah Arifin Panirogo selaku penggagas dibentuknya Liga Primer Indonesia, disebut-sebut akan maju dalam pemilihan ketua umum PSSI. Entah benar atau tidaknya isu tersebut, yang jelas munas PSSI memang akan digelar sebentar lagi karena masa kepemimpinan Nurdin Halid tinggal 4 bulan. Kiprah Arifin. P dalam persepakbolaan nasional memang tak bisa diragukan. Di periode 2010 sekurang-kurangnya ia telah membuat tiga gebrakan dalam sepakbola. Selain meluncurkan Liga Primer Indonesia, dua diantaranya adalah membuka SECABA sepakbola bekerja sama dengan mabes TNI dan meluncurkan buku putih reformasi sepakbola Indonesia.

Inilah yang membuat kubu Nurdin berang. Nurdin yang selama ini seolah menjadi “musuh bersama” pecinta sepakbola, harus dihadapkan pada pihak yang pada munas nanti kemungkinan akan menjadi pesaing beratnya. Sedangkan Arifin P sendiri belum atau mungkin enggan untuk berdialog dengan PSSI menyangkut gebrakan yang ia luncurkan. Keduanya terjebak dalam sikap keras kepala masing-masing pihak. Tak bisa dipungkiri sikap egois yang sarat kepentingan inilah yang semakin menambah kisruh persepakbolaan kita.

Perlu Mediasi

Sejauh ini, antusiasme masyarakat terhadap sepakbola nasional masih bergema. Sungguh disayangkan, apabila semangat tersebut harus tenggelam oleh konflik LPI dan PSSI yang terjadi saat ini. Yang lebih menghawatirkan jika kondisi semacam ini akan menimbulkan perpecahan hingga semakin melemahkan sepakbola nasional. Sepakbola merupakan “bahasa universal”. Ia bisa menjelma menjadi alat pemersatu juga simbol kebanggaan bangsa. Untuk itu kemajuan sepakbola nasional menjadi harapan bersama. Kemanapun arah yang diupayakan PSSI ataupun LPI , semestinya tujuannya hanya satu yaitu memajukan persepakbolaan kita.

Membangun sepakbola yang maju dan professional memang bukan upaya instan. Perlu kesabaran dan pejuangan keras untuk mewujudkannya. Jika konflik semacam ini tidak segera diselesaikan bukan mustahil akan menjadi pemecah sepakbola nasional. Pemerintah dalam hal ini sebagai penengah tak boleh tinggal diam. Mereka harus memfasilitasi mediasi antara kedua belah pihak secepatnya agar konflik yang bergulir bisa menghasilkan solusi terang. Singkatnya kemanapun arah yang mereka tunjukkan, kemajuan sepakbola nasional tetap menjadi tujuan.


Tidak ada komentar: