Rabu, 05 Mei 2010

Republik Pentungan

terbit diharian seputar indonesia (24 April 2010)

Tragedi kemanusiaan yang identik dengan tindak kekerasan bukan sekali dua kali melanda negri ini. Jika mau menengok sejarah, niscaya banyak ditemukan tebaran tindak kekerasan yang seolah sering mengiringi langkah perkembangan bangsa. Ironisnya, tragedi kekerasan yang jelas bertentangan dengan kepribadian bangsa tersebut justru sering dilakukan oleh pihak penguasa. Pihak yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat (baca: rakyat) dan penjunjung tinggi perdamaian.

Tragedi Mei 98, tragedi semanggi, atau yang masih segar diperbincangkan yakni tragedy makam mbah priok merupakan beberapa contoh betapa tindak represif aparatur Negara sebagai perpanjangan tangan dari penguasa seolah melegitimasi adanya kekerasan untuk memaksakan kehendaknya kepada rakyat. Catatan historis negeri ini telah begitu banyak mengungkap hal yang senada.Penguasa yang seharusnya menjadi pelindung rakyat menjelma menjadi monster antirakyat yang siap menindas siapapun yang berseberangan Alur selanjutnya dapat ditebak, lagi-lagi rakyat yang harus merasakan impact yang tak menyenangkan. Maka tak heran jika kemudian muncul istilah bahwa Indonesia merupakan the country of violence.

“Kekerasan dan Penguasa”. Dua kata benda berbeda yang tak bisa dikatakan tak saling berhubungan. Keduanya memiliki jalinan kuat terkait dengan kokohnya hegemoni. Dalam hal ini, penguasa tak jarang melakukan tindak kekerasan untuk meneguhkan hegemoni dan kehendak mereka secara paksa. Ranah demokrasi yang seharusnya mampu membangun relasi harmonis antara rakyat dan penguasa justru menjadi ajang batu hantam demi ego masing-masing pihak. Dialog dan musyawarah sebagai salah satu representasi demokrasipun berubah menjadi pentungan dan batu. Ironis memang. Republik yang seharusnya kokoh berdiri diatas pilar demokrasi terpaksa harus tegak dibalik batu dan pentungan. Jika hal ini berlangsung terus-menerus bukan mustahil akan mengancam identitas Indonesia sebagai bangsa yang ramah.

Siapapun tidak ada yang menyepakati adanya kekerasan apapun alasan yang mendasarinya. Apalagi jika hal tersebut dilakukan oleh pihak yang seharusnya mengayomi rakyat. Namun mengapa hal ini sering terjadi? Bahkan seolah menjadi solusi?

Seperti umum diketahui, kekerasan muncul manakala antara pihak yang bertikai sama-sama teguh dengan pendirian dan egonya. Buntunya solusi turut mendorong mereka untuk menghalalkan tindak kekerasan sebagai jalan mengakhiri pertikaian. Namun bukan akhir bahagia yang didapat, tetapi justru berakhir dengan pertumpahan darah. Penguasa yang yang represif dan rakyat yang merasa tertindas mau tak mau harus memakan tumbal atas nama ego.

Terlepas dari segala alasan yang mendasarinya, nampak bahwa sudah saatnya Negara bertindak arif dalam mengambil kebijakan. Jangan sampai apa yang menjadi kehendak pemerintah justru menyulut emosi dan menindas rakyat. Dalam hal ini dialog dan musyawarah harus kembali digalakkan oleh kedua belah pihak yaitu Rakyat dan penguasa. Jika dialog belum mampu memecahkan persoalan, seharusnya bukan tindak represif yang dilakukan, akan tetapi bagaimana agar kedua belah pihak dapat duduk berdampingan untuk kemudian bersama mencari solusi yang tepat tanpa merugikan salah satu pihak. Tanpa disertai emosi yang meluap-luap , bukankah jika hal ini digalakkan, setidaknya mampu menjadi solusi elegan bagi problematika bangsa.