Rabu, 22 Desember 2010

TKWI, Wajah Perbudakan Perempuan

terbit diharian wawasan edisi 4 Desember 2010


Kekerasan terhadap Tenaga Kerja Wanita Indonesia (TKWI), paling tidak dalam beberapa waktu belakangan, telah menjadi isu aktual . Sebuah peristiwa yang sebenarnya bukan isu baru namun kembali menyita perhatian publik setelah dalam sekian waktu mengalami mati suri. Hal ini berawal dari berita kekerasan yang menimpa TKW bernama Sumiati beberapa waktu lalu. Dalam waktu singkat berbagai media secara sporadis mengangkatnya sebagai berita sentral. Kasus-kasus lain yang selama ini tak tercium publikpun turut mencuat.


Berangkat dari kasus kekerasan yang seringkali menimpa TKWI, tersimpan sebuah fakta ironis. Sangat ironi, bahwa dalam tatanan masyarakat global yang dibangun diatas prinsip rasionalitas, demokrasi dan humanisasi, budaya kekerasan justru sering tak terpisahkan dari kehidupan para TKWI yang merantau di negeri orang. Kasus semacam ini memang tidak bisa digeneralisasi. Pasalnya tidak semua TKWI yang bekerja di luar negeri mengalami perlakuan tak manusiawi. Sebagian dari mereka ada pula yang sukses. Namun jika mengamati beberapa kasus kekerasan yang menimpa beberapa TKWI , seolah menggambarkan eksisnya ketertindasan legal yang didominasi oleh golongan superior terhadap beberapa buruh migran .


Tak ubahnya sebuah praktik perbudakan,dimana majikan berhak sepenuhnya atas diri bawahannya, maka kasus ini seolah mencerminkan bahwa praktik tersebut belum sepenuhnya lepas dalam tatanan masyarakat modern. Bedanya, perbudakan dewasa ini identik berwajah perempuan yang lemah dan inferior.



Belenggu Ekonomi


Perlakuan tak manusiawi yang diterima beberapa TKWI mengingatkan kita kepada masa kolonial, dimana eksploitasi terhadap golongan inferior adalah sah. Inilah yang mendasari adanya perbudakan, dimana menempatkan majikan sebagai “penguasa” dan bawahan sebagai “makhluk belian” yang bisa dikuasai secara absolut tanpa adanya timbal balik , termasuk menerima penganiayaan fisik. Tindakan eksploitatif itu nampak akrab terdengar jika menyinggung soal penganiayaan yang sering diterima pekerja Indonesia oleh majikannya . Kenyataan seperti ini tak pelak mengancam keselamatan perkerja perempuan dan memaksanya menjadi makhluk nonesensial di negeri orang . Menurut hemat penulis, TKW sebagai golongan yang pada dasarnya “inferior” terjebak paling tidak dalam tiga belenggu ekonomi.


Pertama, Bagi pihak pengimpor, TKW merupakan “kategori ekonomi”. Sebuah kategori bagi sesuatu yang bisa diperas tenaganya dan bisa dibayar dengan harga semurah mungkin. Kedua, bagi pengekspor , TKW merupakan “peluang ekonomi”. Peluang bagi masuknya devisa Negara dengan modal seminim-minimnya. Bukankah sudah umum diketahui bahwa TKI merupakan penyumbang devisa terbesar kedua di negeri ini? Dan terakhir bagi TKW itu sendiri, bekerja dinegeri orang memberikan harapan kemapapanan ekonomi yang akan ia raih setelahnya. Kelemahan ekonomi yang makin meningkat memaksanya memasuki bursa tenaga kerja dimana mereka akhirnya terpuruk di sektor-sektor berupah “lumayan” walaupun nyawa menjadi taruhan. Ironisnya kenyataan yang diterima dilapangan justru kerap berbanding terbalik dengan harapan. Pelecehan seksual, penganiayaan fisik, dan hak yang tak dibayar merupakan persoalan klise yang dihadapi TKW Indonesia dari masa kemasa. Ketiga belengggu tersebut menjadi dasar mengapa profesi menjadi TKW (umumnya sektor rumah tangga) sering dianggap sebagai aternatif jitu dalam mengatasi persoalan ekonomi.


Hal tersebut diatas cukup masuk akal mengingat gagalnya pemerintah dalam mengatasi kemiskinan dan pengangguran yang tak terbendung tiap tahunnya. Persoalannya adalah pada praktik eksploitatif yang sering bersifat legal di Negara pengimpor. TKW diperlakukan tak ubahnya budak. Durasi waktu kerja yang melampaui batas , tidak adanya jaminan kesehatan dan keselamatan, bahkan sering menerima penganiyayaan muncul menjadi sebuah kejahatan tersembunyi. Ironisnya tindakan semacam ini terjadi diatas penjanjian legal bernama “kontrak kerja”.


Belajar dari Filiphina



Kendati telah berulang kali terjadi, upaya pemerintah dalam menangani kasus TKW “bermasalah” nampaknya belum menyentuh kulminasi. Persoalannya adalah pada sikap pemerintah yang cenderung reaktif dan bukan prefentif. Padahal idealnya, pemerintah seharusnya turun tangan mulai dari awal. Meliputi perekrutan, penyadaran hukum, pengiriman, penempatan , penertiban agen illegal, serta pengawasan terhadap berjalannya undang-undang perburuhan, baik yang berlaku di Indonesia maupun dinegara tujuan TKWI.


Sebagai sesama Negara berkembang, agaknya Indonesia perlu belajar dari sikap Filiphina. Pemeritah Filipina sadar betul akan gelar terhormat TKW sebagai “pahlawan devisa” yang banyak berjasa bagi perekonomian Negara. Kesadaran semacam ini dibarengi kepedulian yang luar biasa terhadap nasib para TKW yang bekerja diluar negeri.


Di Filipina ada lembaga POEA (philipines Overseas Employment Administration) yang mengelompokkan pekerja menjadi tujuh kategori yakni pekerja professional dan teknis, pekerjaan administratif dan manajerial, pekerjaan klerek, tenaga pemasaran, pekerja sektor jasa, pekerja pertanian, dan pekerja produksi. Adanya pengelompokan tersebut memudahkan pemerintah Filipina dalam mendata warganya yang bekerja diluar negeri. Filpina juga mengharuskan adanya negosiasi antara perusahaan pengerah tenaga kerja dari kedua Negara sebelum dilakukan pengiriman, termasuk didalamnya menetapkan standar gaji. Selain itu pemerintah Filipina secara langsung ikut mengawasi sejak masa perekrutan meliputi pelatihan keterampilan, penanaman nilai-nilai sosial dan profesionalisme. Prinsipnya adalah tenaga kerja yang dikirim dari Filipina harus berkualitas, professional, jujur dan disiplin untuk mampu bersaing dengan pekerja dari Negara lain di pangsa internasional.


Mungkin Indonesia perlu belajar untuk menerapkan sistem yang berlaku di Filipina sesuai dengan keadaan. Agar kelak TKWI lebih dihargai sebagai manusia. Jika pemerintah mampu menerapkan upaya kesinambungan untuk kesejahteraan dan keselamatan TKW, kita berharap bahwa suatu saat tak ada lagi “pahlawan devisa” yang diperlakukan layaknya budak.

Rabu, 11 Agustus 2010

cerita anak "fabel"

Burung Beo Yang Cerdik

terbit diharian suara merdeka edisi 1 agustus 2010

Disebuah hutan yang sangat luas, tinggalah sekelompok hewan yang yang hidup dengan rukun dan tentram. Tempat tinggal itu dikepalai oleh seekor kera yang bijak dan penyayang. Pada suatu pagi ada suatu masalah yang sangat rumit yaitu hilangnya mahkota raja kera. Tidak ada satu hewanpun dikawasan itu yang dapat mencari mahkota raja kera. Akhirnya datang satu hewan yang ingin mencari mahkota raja kera tersebut yaitu seekor burung Beo. Setelah menemui raja Kera dan bercakap-cakap dengannya, beopun pulang kerumah. Malamnya Beo tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan bagaimana caranya menemukan mahkota raja.

Keesokan harinya, Beo memutuskan untuk mencari mahkota raja ke pedalaman hutan. Ia berangkat tanpa ditemani siapapun. Ditengah perjalanan, burung Beo melihat ada begitu banyak bulu-bulu yang bersebaran. Burung Beopun mengikuti arah bulu-bulu yang tersebar itu. Akhirnya,ceceran bulu itu berhenti pada disebuah pohon yang sangat besar yang dihuni seekor Gagak. Diatas pohon itu, Beo melihat seekor Gagak yang terlihat sedang menyembunyikan sesuatu. Mata Gagak itu, menatap Beo dengan tatapan benci. Beopun penasaran .

“ Apa yang kau sembunyikan itu hai Gagak” tanya Beo

“ Bukan urusanmu. Kenapa kau berani memasuki wilayahku, Beo” jawab Gagak ketus

“ Aku kesini untuk mencari mahkota milik rajaku yang hilang”

Mendengar jawaban Beo, Gagak tertawa sambil mengejek burung Beo

“ ha. .ha. .ha. . kau burung Beo kecil mau mencoba mengambil mahkota ini dariku, lebih baik kau pulang saja Beo, dan katakan pada rajamu, sekarang akulah penguasa hutan ini” ucap Gagak dengan lagak sombongnya

“ Oh. . jadi kau yang mencuri mahkota rajaku,sudah kuduga. Keterlaluan kau Gagak” jawab Beo lantang.

Tanpa memperdulikan Beo, burung gagakpun terbang membawa mahkota raja. Ukuran tubuh dan sayap Gagak yang besar , membuat Beo kewalahan mengejarnya. Karena tak bisa mengejar Gagak, Beo kehilangan jejak. Kemudian Beo memutuskan untuk kembali kerumahnya.

Sesampainya dirumah, ia terus berpikir bagaimana caranya mengambil mahkota raja dari Gagak besar itu. Setalah cukup lama berpikir, ia menemukan ide. Beo berencana untuk menjebak Gagak dengan membuat perangkap dipohon yang terletak didepan rumah Gagak.

Tengah malam itu juga, Beo terbang kerumah Gagak. Tampak dari luar Gagak sedang tertidur pulas dengan mahkota tergeletak disampingnya. Beopun mulai beraksi. Ia melubangi bagian pohon dan pada sisi-sisinya ia beri getah pohon karet yang sangat lengket. Setelah selesai menjalankan aksinya,pelan-pelan Beo masuk kerumah Gagak dan mengambil mahkota raja. Beo kemudian terbang menuju pohon perangkap tadi. Beo mengambil batu dan melemparkannya kerumah gagak. Gagakpun terbangun, ia kaget bukan main saat mengetahui mahkota curiaannya hilang. Rupanya saat ia keluar dari rumahnya, Beo sudah bertengger dipohon depan rumahnya sembari memegang mahkota tersebut. Alangkah murkanya Gagak saat itu. Dengan serta-merta Gagak terbang, hendak menyambar Beo. Gagak tidak tahu jika pohon tempat bertengger Beo telah diberi perangkap. Tanpa menunggu lama, gagakpun masuk kedalam lubang perangkap yang telah diberi getah karet itu. Tubuh gagak tak bisa bergerak. Ia berteriak-teriak meminta pertolongan.

“ Tolong Beo keluarkan aku dari sini” pinta Gagak dengan wajah memelas

“ Tidak ! itu akibat dari perbuatanmu yang telah berani mencuri mahkota raja kera” jawab Beo

“ ampun Beo, ampun. . .aku tak akan mengulanginya lagi. Sekarang kumohon lepaskan aku” Gagak terus merengek

“ Aku akan menolongmu, tetapi setelah mendapat ijin rajaku dan setelah kuserahkan mahkota ini padanya” ucap Beo.

Beopun langsung terbang dari tempat itu untuk menyerahkan mahkota milik raja kera. Sesampainya di wilayah raja kera, Beo disambut dengan suka cita. Semua hewan berteriak “ hidup Beo! Hidup Beo!” . Raja kera sangat banggga kepada Beo. Ia kemudian mengangkat Beo menjadi menjadi wakilnya, sedangkan burung gagak diberi hukuman dengan terus berdiam di perangkap itu untuk waktu yang lama. Keadaan hutanpun menjadi kembali tentram. Semua itu karena kecerdasan burung Beo.

Minggu, 04 Juli 2010

Media introspeksi

terbit diwawasan edisi 22 Juni 2010

VIDEO mesum dengan pemeran mirip artis, akhir-akhir ini memunculkan terror baru bagi masyarakat. Tak hanya menjadi perbincangan hangat diberbagai media, video tersebut juga turut muncul ke permukaan dan dikonsumsi oleh khalayak, bahkan hingga luar negeri. Tersebarnya video mesum mirip artis tersebut memang memiriskan. Miris, karena video itu mempertontonkan suatu hal yang tak layak dilihat publik secara umum. Miris karena di dalamnya melibatkan publik figur yang banyak dijadikan idola dan kiblat masyarakat.

Miris, karena pihak yang mengonsumsi bukan saja mereka yang cukup umur tetapi juga remaja dan anak-anak. Dan miris, karena begitu mudahnya aib orang diunduh, tersebar dan diperbincangkan di negeri yang konon menjunjung tinggi adat ketimuran. Yang tak kalah miris, karena video heboh itu mampu mengalihkan opini publik terhadap permasalahan pelik bangsa yang seharusnya mendapat proporsi prioritas.

Sejujurnya fenomena semacam ini bukan kali pertama terjadi di negeri ini. Menilik ke belakang, banyak kasus serupa yang tak kalah menghebohkan. Lepas dari asli atau tidaknya video tersebut, hal ini cukup memberikan beberapa gambaran akan potret sikap bangsa kita terhadap kemajuan teknologi. Betapa sebagian besar dari masyarakat kita telah menjadi hamba teknologi akut. Dikatakan hamba karena kebanyakan mereka hanya menerima produk-produk teknologi apa adanya tanpa memilah mana yang layak dikonsumsi dan mana yang tidak.

Hamba akut, karena berawal dari sini memunculkan konklusi bahwa seolah bukan manusia yang mengendalikan teknologi, tapi sebaliknya teknologilah yang seakan menjelma sebagai pengendali manusia. Sebagai contoh, saat muncul video yang tak layak dipertontonkan, banyak dari mereka berperan menjadi konsumen sekaligus distributor (pengedar) dengan menyebarkannya kepada orang lain. Jika mau patuh dengan apa yang tercantum dalam undang-undang, tentu akan banyak kalangan yang terseret ke meja hijau akibat penyebaran berantai ini.

Di era keterbukaan seperti sekarang, perkembangan teknologi terutama teknologi informasi memang luar biasa. Kemajuan dalam bidang ini masuk dalam setiap aspek kehidupan manusia. Tak ada lagi celah antara ranah privasi dan ranah umum. Namun pertanyaanya kemudian, salahkah jika teknolgi berkembang begitu pesat? Bukankah lagi-lagi manusia juga yang mengembangkannya? Tentu bukanlah hal yang bijak jika kemudian hasil inovasi manusia inilah yang disalahkan.

Berawal dari sinilah, publik membutuhkan apa yang dinamakan sebagai teknologi yang memanusiakan yakni teknologi yang menempatkan manusia tak hanya sebagai objek penikmat namun juga pengendali. Kehadirannya sanggup membawa pencerahan dan nilai positif bagi masyarakat. Berbicara mengenai hal ini, memang kembali kepada sikap masing-masing individu. Namun, jika direlasikan, perkembangan teknologi dan sikap individu tentu memiliki interaksi yang erat dan saling berpengaruh. Paling tidak memenuhi dua pengaruh, maka teknologi dapat dikatakan memanusiakan.

Pertama, pengaruh bagi tiap individu yaitu agar setiap individu dapat bersikap bijak dalam menggunakan teknologi. Jangan sampai teknologi membuat seseorang terseret kepada perbuatan bodoh yang akhirnya hanya merugikan diri sendiri. Ambil contoh seperti yang terjadi pada beberapa artis. Sikap ceroboh dan kurang bijak banyak menyeret mereka melakukan tindakan-tindakan "aneh" dengan merekam aktivitas privasi mereka. Kemudian, ketika rekaman tersebut tersebar, barulah sebagian sadar bahwa mereka telah menjadi korban.

Saat inilah kalimat "jangan telanjang di depan kamera" menemukan esensinya. Kedua Pengaruh bagi masyarakat yakni berupa pembentukan kesadaran publik untuk tetap bijak berpegang pada norma-norma masyarakat dalam menyikapi perkembangan teknologi. Jika kesadaran semacam ini telah terbentuk, peran teknologi tidaklah melulu pada sarana hiburan atau pembantu kerja manusia. Lebih dari itu, peran yang tak kalah penting adalah sebagai media introspeksi bagi masyarakat."

Rabu, 05 Mei 2010

Republik Pentungan

terbit diharian seputar indonesia (24 April 2010)

Tragedi kemanusiaan yang identik dengan tindak kekerasan bukan sekali dua kali melanda negri ini. Jika mau menengok sejarah, niscaya banyak ditemukan tebaran tindak kekerasan yang seolah sering mengiringi langkah perkembangan bangsa. Ironisnya, tragedi kekerasan yang jelas bertentangan dengan kepribadian bangsa tersebut justru sering dilakukan oleh pihak penguasa. Pihak yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat (baca: rakyat) dan penjunjung tinggi perdamaian.

Tragedi Mei 98, tragedi semanggi, atau yang masih segar diperbincangkan yakni tragedy makam mbah priok merupakan beberapa contoh betapa tindak represif aparatur Negara sebagai perpanjangan tangan dari penguasa seolah melegitimasi adanya kekerasan untuk memaksakan kehendaknya kepada rakyat. Catatan historis negeri ini telah begitu banyak mengungkap hal yang senada.Penguasa yang seharusnya menjadi pelindung rakyat menjelma menjadi monster antirakyat yang siap menindas siapapun yang berseberangan Alur selanjutnya dapat ditebak, lagi-lagi rakyat yang harus merasakan impact yang tak menyenangkan. Maka tak heran jika kemudian muncul istilah bahwa Indonesia merupakan the country of violence.

“Kekerasan dan Penguasa”. Dua kata benda berbeda yang tak bisa dikatakan tak saling berhubungan. Keduanya memiliki jalinan kuat terkait dengan kokohnya hegemoni. Dalam hal ini, penguasa tak jarang melakukan tindak kekerasan untuk meneguhkan hegemoni dan kehendak mereka secara paksa. Ranah demokrasi yang seharusnya mampu membangun relasi harmonis antara rakyat dan penguasa justru menjadi ajang batu hantam demi ego masing-masing pihak. Dialog dan musyawarah sebagai salah satu representasi demokrasipun berubah menjadi pentungan dan batu. Ironis memang. Republik yang seharusnya kokoh berdiri diatas pilar demokrasi terpaksa harus tegak dibalik batu dan pentungan. Jika hal ini berlangsung terus-menerus bukan mustahil akan mengancam identitas Indonesia sebagai bangsa yang ramah.

Siapapun tidak ada yang menyepakati adanya kekerasan apapun alasan yang mendasarinya. Apalagi jika hal tersebut dilakukan oleh pihak yang seharusnya mengayomi rakyat. Namun mengapa hal ini sering terjadi? Bahkan seolah menjadi solusi?

Seperti umum diketahui, kekerasan muncul manakala antara pihak yang bertikai sama-sama teguh dengan pendirian dan egonya. Buntunya solusi turut mendorong mereka untuk menghalalkan tindak kekerasan sebagai jalan mengakhiri pertikaian. Namun bukan akhir bahagia yang didapat, tetapi justru berakhir dengan pertumpahan darah. Penguasa yang yang represif dan rakyat yang merasa tertindas mau tak mau harus memakan tumbal atas nama ego.

Terlepas dari segala alasan yang mendasarinya, nampak bahwa sudah saatnya Negara bertindak arif dalam mengambil kebijakan. Jangan sampai apa yang menjadi kehendak pemerintah justru menyulut emosi dan menindas rakyat. Dalam hal ini dialog dan musyawarah harus kembali digalakkan oleh kedua belah pihak yaitu Rakyat dan penguasa. Jika dialog belum mampu memecahkan persoalan, seharusnya bukan tindak represif yang dilakukan, akan tetapi bagaimana agar kedua belah pihak dapat duduk berdampingan untuk kemudian bersama mencari solusi yang tepat tanpa merugikan salah satu pihak. Tanpa disertai emosi yang meluap-luap , bukankah jika hal ini digalakkan, setidaknya mampu menjadi solusi elegan bagi problematika bangsa.

Selasa, 20 April 2010

Wabah Hipokrasi Intelektual

terbit diharian solopos edisi 20 April 2010


“Membuat karya ilmiah tanpa harus pusing mencari referensi dan melakukan penelitian? Gampang! cari saja di google” . Kalimat tersebut mungkin pas untuk menggambarkan betapa mudahnya seseorang melakukan penjiplakan di era digital seperti sekarang. Mudahnya akses informasi dan terbastanya waktu yang dimiliki membuat sebagian kalangan dengan mudah mencuri property intelektual orang lain dan mengakuinya sebagai karya sendiri. Ironis memang. pesatnya kemajuan IPTEK yang seharusnya mampu menjadi tonggak terbentuknya generasi yang bermartabat justru menjadi pencetak generasi hipokrat.

Kasus terkuaknya tindakan plagiat oleh seorang guru besar universitas Parahyangan beberapa waktu lalu barangkali bisa jadi semacam potret buram dunia pendidikan di Indonesia . Hal tersebut mencerminkan betapa praktek plagiat atau copy-paste juga bisa dilakukan oleh kalangan guru besar yang seharusnya berada di garda terdepan dalam memajukan pendidikan. Setelah terkuaknya kasus tersebut , bukan tidak mungkin ada juga kalangan dosen atau guru besar yang melakukan tindakan senada. Baik itu yang terungkap ke publik maupun yang hanya menjadi rahasia pribadi.

Dinegara manapun plagiarisme termasuk tindakan “kejahatan intelektual” yang dapat dikategorikan juga sebagai pencurian properti intelektual seseorang . Apalagi jika tindakan ini terjadi dalam dunia pendidikan yang tergolong sebagai ladang intelektual . Plagiarisme tak ubahnya tindak kriminal yang merugikan beberapa pihak dan turut mencemari keagungan wilayah akademis.Ironisnya, banyak kalangan civitas akademika terjebak dalam praktek kejahatan ini, entah itu dalam penulisan skripsi, tesis maupun makalah yang tidak lain merupakan menu wajib seorang akademisi. Sudah tak asing lagi cerita tentang mahasiswa yang menyewa jasa pembuatan skripsi atau karya ilmiah yang sudah barang tentu diragukan keabsahannya, ditambah lagi dengan mudahnya akses informasi sehingga seseorang dapat dengan mudah mengkopi-paste karya ilmiah tanpa menyebut sumbernya.

Alternatif Pragmatis

Berbicara mengenai plagiarisme tak bisa lepas dari faktor yang mendasarinya. Secara umum kalangan civitas akademika sangat memahami akan pentingnya menghargai dan memberikan pengakuan terhadap karya ataupun gagasan orang lain. Oleh karenanya, setiap kali mengutip atau menggunakan pendapat orang lain, menjadi keharusan untuk menyertakan nama dan karyanya. Alasannya jelas, bahwa karya dan gagasan yang diambil merupakan bentuk properti intelektual yang sangat berharga bagi penemu gagasan. Lalu kenapa praktik plagiarisme justru banyak menghinggapi kalangan civitas akademika ? Tak lain, karena dalam posisi sebagai civitas akademika, mahasiswa akan dibebani oleh banyak aturan dan tuntutan yang harus dipenuhi . Hal umum yang lazim dimengerti adalah tuntutan untuk memperoleh IPK tinggi dengan diiringi oleh tugas pembuatan karya ilmiah dan sebagainya. Dengan modal pengetahuan,referensi dan waktu yang terbatas , tak jarang mahasiswa menghalalkan segala cara. Salah satunya dengan melakukan penjiplakan. Disamping itu, menjamurnya teknologi yang memudahkan akses informasi juga berperan dominan dalam memudahkan aksi plagiarisme. Tanpa melalui proses berpikir panjang, seorang mahasiswa dapat begitu mudah mendapatkan berbagai jenis karya ilmiah dari internet. Alur selanjutnya bisa ditebak. Tulisan dicopy-paste, diedit seperlunya dan diganti dengan nama sendiri tanpa menyebutkan sumbernya. Dari yang penulis amati,hal seperti ini umum terjadi __kalau tidak mau dibilang “sudah tradisi”. Berawal dari sinilah budaya semacam ini seolah menjadi alternatif jitu untuk menunaikan tuntutan pendidikan terutama bagi mereka yang bermental pragmatis. Padahal, disadari atau tidak tindakan semacam ini tak lain merupakan ujung belalai dari merambahnya gurita penipuan dalam dunia pendidikan. Jika hal ini dibiarkan, bukan mustahil akan menjadi batu sandungan bagi perkembangan dunia pendidikan kita.

Indikasi Dekadensi Moral

Merebaknya tindakan plagiat menandakan adanya dekadensi moral dalam tubuh akademisi. Wilayah akademis yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran seolah telah ternoda dengan prinsip “cari enak” dari sebagian orang. Mental pragmatis dan jiwa hipokrit akademisi penganut budaya “cari enak” turut melegitimasi adanya alternatif tercela ini. Harga diri dunia pendidikanpun terabaikan demi ambisi pribadi. Tak perlu lagi peduli dengan prinsip-prinisp agung pendidikan, asal tugas terpenuhi dan gelar tercapai, tindakan tercelapun dapat dilakukan. Hasil akhir menjadi destinasi utama dibandingkan dengan proses dan kerja keras yang harus dijalani. Destinasi inilah yang kemudian memunculkan wabah-wabah dusta, penipuan, pemalsuan, dan kemunafikan intelektual diwilayah akademis .Wilayah yang seharusnya sarat dengan nilai pembelajaran dan kejujuran.

Plagiarisme memang bukan perkara baru. Namun, di Indonesia upaya untuk menangani perkara buruk ini agaknya tidak terlalu menampakkan keseriusan . Dibeberapa Negara maju, tindakan menjiplak karya orang lain dapat berdampak pada dikeluarkannya seorang murid dari sekolah atau universitas. Nampaknya hal ini perlu dicontoh oleh pemerintah Indonesia . Sejauh ini, belum ada pemanfaatan teknologi di Indonesia untuk mereduksi tindakan plagiat. Padahal dinegara lain banyak yang sudah mengembangkan piranti lunak untuk mendeteksi tindakan plagiat. Langkah semacam ini seharusnya perlu mendapat perhatian pemerintah, Karena sanksi akademis saja belum cukup untuk mengurangi plagiarisme. Selanjutnya, upaya yang tak kalah penting adalah memberikan pemahaman dan kesadaran akan buruknya plagiarisme kepada setiap civitas akademika. Penanaman kesadaran ini perlu digalakkan sejak dini. Jika kesadaran akan buruknya plagiarisme telah terbentuk oleh tiap individu, setidaknya dapat membuka jalan untuk memperbaiki moral dan martabat bangsa.

Senin, 22 Februari 2010

Tampilkan Sikap Elegan


(terbit diharian wawasan : 9 Februari 1010)


Peran mahasiswa dalam mengantar dan mengawal gerakan reformasi tak bisa diragukan lagi. Sejarah mencatat, kekuatan besar dari berbagai elemen mahasiswa mampu menumbangkan penguasa orde baru yang telah berkuasa lebih dari tiga dasawarsa pada tahun 1998. Paska tumbangnya orde baru, genderang reformasi yang dimotori mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia mulai bergema. Sejak saat itu, eksistensi mahasiswa sebagai director of change seolah bangun dari tidur panjangnya. Mahasiswa dengan tekad dan idealisme yang menghujam mampu menjadi lokomotif reformasi demi mewujudkan mimpi Indonesia menjadi bangsa yang bermartabat.

Heroisme mehasiswa pada masa itu, menjadi semacam legitimasi betapa kekuatan pemuda-pemuda terdidik mampu membawa perubahan signifikan dinegri yang tengah terpuruk dalam beragam krisis multidimensi. Mahasiswa menjelma menjadi kekuatan baru untuk melawan berbagai ketimpangan dalam tatanan sosial dan politik.

Jika dikorelasikan dengan masa sekarang, sesungguhnya peran tersebut masih tetap eksis. walaupun tidak seheroik pada masa pra runtuhnya orba, andil mahsiswa era sekarang tetap besar dalam memperbaiki tatanan sosial dan politik. Terbukti, ditengah karut-marut suasana pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu II, mahasiswa tetap berada di garda terdepan dalam mengkritisi kinerja pemerintah .Ditandai dengan maraknya aksi demontrasi, mahasiswa tak hanya gembar-gembor dijalan, tapi juga memberi gagasan-gagasan cemerlang untuk pemerintah. Sayangnya pemerintah agaknya enggan beranjak untuk menggodok aspirasi mereka. Suara-suara kritis mahasiswa tak ubahnya angin lalu. Nyaris tak tertanggapi.

Tak hanya terkesan acuh tak acuh, akhir-akhir ini pemerintah malah menyayangkan berbagai aksi mahasiswa tersebut. Alih-alih menanggapi aspirasi mereka, pemerintah justru menyesalkan tindak demonstrasi mahasiswa yang terkesan anarkis. Padahal terlepas dari segala pro kontra mengenai aksi mahasiswa , sesungguhnya gagasan dan aspirasi yang mereka sampaikan menyimpan muatan yang cerdas, kritis dan membangun. Andai setiap aspirasi mereka mendapat tanggapan dan digodok di pemerintahan, bukankah tidak mustahil hal ini mampu menjadi solusi ditengah beragam problematika pemerintah?

Perlu Perubahan

Menanggapi fakta bahwa pada dasarnya pemerintah seolah cuek dengan aspirasi mereka, lantas pesimiskah mahasiswa?, Langkah apa lagi yang seharusnya ditempuh agar tuntutan mereka terpenuhi atau paling tidak didengar oleh pihak yang berwenang? Memang bukan persoalan mudah untuk mencari jalan tengah yang bijak, mengingat sedemikian peliknya persoalan bangsa ini. Namun, jika masing-masing pihak baik dari pemerintah maupun mahasiswa bisa menampilkan sikap yang elegan dan professional bukan mustahil akan sama-sama menemukan solusi jitu demi perubahan yang lebih baik.

Langkah awal mungkin bisa dimulai adalah dengan memperbaiki manajemen demonstrasi. Dari yang penulis tangkap selama ini, aksi demo mahasiswa memang terkesan anarkis dan kurang tertib. Semua orang tidak ada yang menyukai ketidaktertiban. Demikian halnya pemerintah. Berawal dari sinilah penyebab aspirasi mahasiswa tidak mendapat tanggapan. Andai dalam melakukan demonstrasi mahasiswa dapat bersikap lebih tertib dan elegan, pasti akan menimbulkan kesan baik dimasyarakat maupun pemerintah sehingga aspirasi yang mereka usungpun akan didengar.

Kedua, adalah dengan memusyawarahkan permasalahan yang ada , sehingga dari sini muncul solusi dan saran bagi pemerintah. Kemudian, dengan hasil musyawarah itu mahasiswa dapat mengirimkan beberapa delegasi untuk bertemu secara eksklusif dengan perwakilan pemerintah dalam waktu yang telah disepakati bersama. Dalam pertemuan tersebut delegasi mahasiswa dan perwakilan pemerintah mencoba berunding bersama atas permasalahan dan solusinya. Tanpa disertai kesan amarah dan teriakan yang meluap-luap kedua belah pihak dapat berunding dan berpikir jernih untuk mencapai solusi yang cerdas dan efektif.

Langkah terakhir yang tak kalah pentingnya adalah perubahan dari kalangan pemerintah. Pemerintah sebagai pihak yang paling berwenang dalam menanggapi aspirasi mahasiswa perlu melakukan perubahan. Jangan hanya duduk mendengar aspirasi mahasiswa distasiun TV kemudian memberi komentar atas aksi mahasiswa diberbagai media, tetapi pemerintah juga perlu mendengar secara langsung aspirasi mereka. Hal ini bisa diawali dengan menyediakan waktu untuk bertemu langsung dengan delegasi mahasiswa dan berdialog dengan mereka sehingga mahasiswapun akan merasa dihargai dan tidak diabaikan. Jika kedua belah mampu melakukan perubahan dan perbaikan dari sistem yang digunakan selama ini , setidaknya masih ada harapan untuk memecahkan problematika bangsa.

"Perjelas Pola Integrasi"

(terbit diharian Suara merdeka: 9 Januari 2010)

Rencana tentang peintegarsian UN dan SNMPTN memang belum bisa terlaksana pada tahun 2010 mendatang. Akan tetapi kajian dan pro kontra mengenai usulan tersebut agaknya akan tetap menjadi topik hangat dalam dunia pendidikan kita. Banyak hal menarik yang perlu dikaji terkait usulan tersebut. Salah satunya adalah terkait pola integarsinya, apakah integrasi yang bersifat mutlak atau integarsi seperti yang disebutkan dalam UU sisdiknas, PP No. 19 tahun 2005.

Melihat fakta lapangan yang terjadi dalam pelaksanaan UN selama ini, usulan tersebut memang terkesan agak utopis. Pasalnya hampir setiap tahun pelaksanaan UN selalu diwarnai aneka tindak kecurangan baik dari pihak murid maupun sekolah. Jika hal ini tidak segera diatasi, akan menjadi batu sandungan bagi upaya pengintegrasian UN dan SNMPTN. Ditambah lagi terkait dengan tujuan UN dan SNMPTN yang jelas berbeda. UN bertujuan untuk mengevaluasi hasil belajar siswa sedangkan SNMPTN bertujuan sebagai seleksi terhadap calon mahasiswa terkait program studi yang dipilihnya.

Namun, jika dilihat dari pola integrasi seperti yang disebutkan dalam UU sisdiknas, PP No. 19 tahun 2005 , saya mendukung ide tersebut. Dalam PP tersebut menyebutkan bahwa hasil UN dapat dijadikan pertimbangan memasuki PTN dan PT tidak perlu lagi mengadakan seleksi dengan memuat materi-materi yang telah diujikan dalam UN. Dalam hal ini PT cukup mengadakan seleksi untuk bakat, minat dan psikotes calon mahasiswa. Menurut hemat saya, pola integrasi semacam ini menjadi hal yang patut dijalankan karena dapat mengakomodasi kedua tujuan yang berbeda antara UN dan SNMPTN. Hal ini bukan berarti menghapus SNMPTN sepenuhnya, hanya saja materinya yang berubah. Ujian SNMPTN kedepan sebaiknya fokus pada bakat dan minat calon mahasiswa bukan mengulang materi UN. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah faktor efesiensi. Materi SNMPTN selama ini cenderung mengulang materi yang telah diujikan dalam UN, sehingga hasil UN terkesan mubazhir karena toh hasil UN tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk memasuki PT. Dengan adanya pengintegrasian tersebut pelaksanaan UN menjadi lebih efisien.

Ringkas kata, perlu kejelasan pola integrasi terkait rencana tersebut. Jika polanya sesuai, diharapkan mampu menjadi terobosan jitu untuk membenahi sistem pendidikan kita yang masih karut-marut.

Bola Salju Century

( terbit diharian seputar indonesia ,27 Januari 2010)
Ditengah karut-marut suasana pemerintahan kabinet Indonesia Bersatu II, kasus Bank Century agaknya akan terus menimbulkan ketegangan. Hampir setiap hari, kasus bailout yang menelan 6,7 triliun uang negara ini terus menjadi topik panas media massa . Masyarakat seakan terus dijejali oleh hiruk-pikuk yang tak jelas ujung pangkalnya. Beragam fakta yang bersumber dari berbagai subyek muncul ke publik dan menambah daftar ketidakpastian dalam menyelesaikan skandal keuangan terbesar dalam sejarah bangsa Indonesia . Ibarat bola salju, kasus century terus menggelinding untuk mencari koordinat yang tepat. Namun ,sejalan dengan pencarian koordinat tersebut , kasus Bank Century semakin menggelinding, membesar, membahayakan dan menyeret berbagai pihak.

Masih segar dalam ingatan kita isu ketidakharmonisan hubungan menkeu Sri Mulyani dengan Abu Rizal Bakrie beberapa waktu lalu yang berujung pada kekawatiran akan lengsernya jabatan sang menkeu. Juga isu tentang pecahnya koalisi pro pemerintah yang sempat mengalihkan perhatian publik. Contoh-contoh sederhana tersebut merupakan suatu bukti nyata bahwa upaya penegakan hukum dalam kasus Bank Century agaknya masih jauh panggang dari api. Masyarakat tidak pernah tau sampai kapan masalah ini akan menunjukkan titik terang.

Status bank Century sebagai bank hasil merger yang bermasalah adalah rahasia umum. pertanyaan dasarnya adalah, apakah suntikan dana dari LPS untuk bank yang bermasalah ini sudah tepat? telah lama publik menunggu jawaban resmi atas pertanyaan ini. Namun sekali lagi fakta-fakta yang terkuak salama ini memang seakan-akan serba tidak pasti sehingga memunculkan bermacam pertanyaan-pertanyaan lain yang menambah panjang alur perdebatan . Ironisnya, perdebatan yang semula mengacu pada dampak ekonomi, terus melebar keranah yang cenderung politis hingga menyeret pos-pos penting sebagai kambing hitam.

Mereduksi Produktifitas

Tak dapat dipungkiri, sejatinya masyarakat sudah hampir muak dengan upaya penegakan hukum dalam kasus bank Century. Berbagai demonstrasi dan kecaman muncul agar pihak yang berwenang segera menuntaskan kasus ini. ada kesan seolah-olah pemerintah lebih mengedepankan kepentingan politik masing-masing daripada uapaya menegakkan hukum. Akibatnya, waktu dan energy yang telah lama terkuras seakan sia-sia belaka. Padahal kedepan, masalah yang harus dihadapi bangsa ini masih menggunung. Jika mau berbicara mengenai oportunity lost, tentu sudah tak terhitung lagi jumlahnya.

Sampai saat ini, kasus century masih menunggu penyelesaian baik diranah hukum maupun politik melalui pansus hak angket DPR . Kejelasan dan kepastian kasus tersebut masih menimbulkan pesimisme dan optimisme publik. Publik sudah terlalu jenuh dengan perdebatan yang berkepanjangan. Dilain pihak, upaya menegakkan hukum yang berkepanjangan ini, secara langusng berimbas pada produktifitas pemerintah. Tugas pemerintah dalam mengemban amanah rakyat seakan “jalan ditempat” tanpa ada perubahan yang berarti akibat begitu banyaknya waktu yang tersita untuk kasus Century. Terlepas dari segala macam kepentingan, rasanya tidak berlebihan jika pemerintah harus focus kembali pada tujuan awal pengungkapan kasus Century dengan memfokuskan pada permasalahan yang ada. Jika semua elemen yang berwenang dapat bekerja dengan berpikir sehat dan jujur, setidaknya harapan untuk menegakkan keadilan dinegri ini bukan sekedar utopia.