Minggu, 04 Juli 2010

Media introspeksi

terbit diwawasan edisi 22 Juni 2010

VIDEO mesum dengan pemeran mirip artis, akhir-akhir ini memunculkan terror baru bagi masyarakat. Tak hanya menjadi perbincangan hangat diberbagai media, video tersebut juga turut muncul ke permukaan dan dikonsumsi oleh khalayak, bahkan hingga luar negeri. Tersebarnya video mesum mirip artis tersebut memang memiriskan. Miris, karena video itu mempertontonkan suatu hal yang tak layak dilihat publik secara umum. Miris karena di dalamnya melibatkan publik figur yang banyak dijadikan idola dan kiblat masyarakat.

Miris, karena pihak yang mengonsumsi bukan saja mereka yang cukup umur tetapi juga remaja dan anak-anak. Dan miris, karena begitu mudahnya aib orang diunduh, tersebar dan diperbincangkan di negeri yang konon menjunjung tinggi adat ketimuran. Yang tak kalah miris, karena video heboh itu mampu mengalihkan opini publik terhadap permasalahan pelik bangsa yang seharusnya mendapat proporsi prioritas.

Sejujurnya fenomena semacam ini bukan kali pertama terjadi di negeri ini. Menilik ke belakang, banyak kasus serupa yang tak kalah menghebohkan. Lepas dari asli atau tidaknya video tersebut, hal ini cukup memberikan beberapa gambaran akan potret sikap bangsa kita terhadap kemajuan teknologi. Betapa sebagian besar dari masyarakat kita telah menjadi hamba teknologi akut. Dikatakan hamba karena kebanyakan mereka hanya menerima produk-produk teknologi apa adanya tanpa memilah mana yang layak dikonsumsi dan mana yang tidak.

Hamba akut, karena berawal dari sini memunculkan konklusi bahwa seolah bukan manusia yang mengendalikan teknologi, tapi sebaliknya teknologilah yang seakan menjelma sebagai pengendali manusia. Sebagai contoh, saat muncul video yang tak layak dipertontonkan, banyak dari mereka berperan menjadi konsumen sekaligus distributor (pengedar) dengan menyebarkannya kepada orang lain. Jika mau patuh dengan apa yang tercantum dalam undang-undang, tentu akan banyak kalangan yang terseret ke meja hijau akibat penyebaran berantai ini.

Di era keterbukaan seperti sekarang, perkembangan teknologi terutama teknologi informasi memang luar biasa. Kemajuan dalam bidang ini masuk dalam setiap aspek kehidupan manusia. Tak ada lagi celah antara ranah privasi dan ranah umum. Namun pertanyaanya kemudian, salahkah jika teknolgi berkembang begitu pesat? Bukankah lagi-lagi manusia juga yang mengembangkannya? Tentu bukanlah hal yang bijak jika kemudian hasil inovasi manusia inilah yang disalahkan.

Berawal dari sinilah, publik membutuhkan apa yang dinamakan sebagai teknologi yang memanusiakan yakni teknologi yang menempatkan manusia tak hanya sebagai objek penikmat namun juga pengendali. Kehadirannya sanggup membawa pencerahan dan nilai positif bagi masyarakat. Berbicara mengenai hal ini, memang kembali kepada sikap masing-masing individu. Namun, jika direlasikan, perkembangan teknologi dan sikap individu tentu memiliki interaksi yang erat dan saling berpengaruh. Paling tidak memenuhi dua pengaruh, maka teknologi dapat dikatakan memanusiakan.

Pertama, pengaruh bagi tiap individu yaitu agar setiap individu dapat bersikap bijak dalam menggunakan teknologi. Jangan sampai teknologi membuat seseorang terseret kepada perbuatan bodoh yang akhirnya hanya merugikan diri sendiri. Ambil contoh seperti yang terjadi pada beberapa artis. Sikap ceroboh dan kurang bijak banyak menyeret mereka melakukan tindakan-tindakan "aneh" dengan merekam aktivitas privasi mereka. Kemudian, ketika rekaman tersebut tersebar, barulah sebagian sadar bahwa mereka telah menjadi korban.

Saat inilah kalimat "jangan telanjang di depan kamera" menemukan esensinya. Kedua Pengaruh bagi masyarakat yakni berupa pembentukan kesadaran publik untuk tetap bijak berpegang pada norma-norma masyarakat dalam menyikapi perkembangan teknologi. Jika kesadaran semacam ini telah terbentuk, peran teknologi tidaklah melulu pada sarana hiburan atau pembantu kerja manusia. Lebih dari itu, peran yang tak kalah penting adalah sebagai media introspeksi bagi masyarakat."