Selasa, 20 April 2010

Wabah Hipokrasi Intelektual

terbit diharian solopos edisi 20 April 2010


“Membuat karya ilmiah tanpa harus pusing mencari referensi dan melakukan penelitian? Gampang! cari saja di google” . Kalimat tersebut mungkin pas untuk menggambarkan betapa mudahnya seseorang melakukan penjiplakan di era digital seperti sekarang. Mudahnya akses informasi dan terbastanya waktu yang dimiliki membuat sebagian kalangan dengan mudah mencuri property intelektual orang lain dan mengakuinya sebagai karya sendiri. Ironis memang. pesatnya kemajuan IPTEK yang seharusnya mampu menjadi tonggak terbentuknya generasi yang bermartabat justru menjadi pencetak generasi hipokrat.

Kasus terkuaknya tindakan plagiat oleh seorang guru besar universitas Parahyangan beberapa waktu lalu barangkali bisa jadi semacam potret buram dunia pendidikan di Indonesia . Hal tersebut mencerminkan betapa praktek plagiat atau copy-paste juga bisa dilakukan oleh kalangan guru besar yang seharusnya berada di garda terdepan dalam memajukan pendidikan. Setelah terkuaknya kasus tersebut , bukan tidak mungkin ada juga kalangan dosen atau guru besar yang melakukan tindakan senada. Baik itu yang terungkap ke publik maupun yang hanya menjadi rahasia pribadi.

Dinegara manapun plagiarisme termasuk tindakan “kejahatan intelektual” yang dapat dikategorikan juga sebagai pencurian properti intelektual seseorang . Apalagi jika tindakan ini terjadi dalam dunia pendidikan yang tergolong sebagai ladang intelektual . Plagiarisme tak ubahnya tindak kriminal yang merugikan beberapa pihak dan turut mencemari keagungan wilayah akademis.Ironisnya, banyak kalangan civitas akademika terjebak dalam praktek kejahatan ini, entah itu dalam penulisan skripsi, tesis maupun makalah yang tidak lain merupakan menu wajib seorang akademisi. Sudah tak asing lagi cerita tentang mahasiswa yang menyewa jasa pembuatan skripsi atau karya ilmiah yang sudah barang tentu diragukan keabsahannya, ditambah lagi dengan mudahnya akses informasi sehingga seseorang dapat dengan mudah mengkopi-paste karya ilmiah tanpa menyebut sumbernya.

Alternatif Pragmatis

Berbicara mengenai plagiarisme tak bisa lepas dari faktor yang mendasarinya. Secara umum kalangan civitas akademika sangat memahami akan pentingnya menghargai dan memberikan pengakuan terhadap karya ataupun gagasan orang lain. Oleh karenanya, setiap kali mengutip atau menggunakan pendapat orang lain, menjadi keharusan untuk menyertakan nama dan karyanya. Alasannya jelas, bahwa karya dan gagasan yang diambil merupakan bentuk properti intelektual yang sangat berharga bagi penemu gagasan. Lalu kenapa praktik plagiarisme justru banyak menghinggapi kalangan civitas akademika ? Tak lain, karena dalam posisi sebagai civitas akademika, mahasiswa akan dibebani oleh banyak aturan dan tuntutan yang harus dipenuhi . Hal umum yang lazim dimengerti adalah tuntutan untuk memperoleh IPK tinggi dengan diiringi oleh tugas pembuatan karya ilmiah dan sebagainya. Dengan modal pengetahuan,referensi dan waktu yang terbatas , tak jarang mahasiswa menghalalkan segala cara. Salah satunya dengan melakukan penjiplakan. Disamping itu, menjamurnya teknologi yang memudahkan akses informasi juga berperan dominan dalam memudahkan aksi plagiarisme. Tanpa melalui proses berpikir panjang, seorang mahasiswa dapat begitu mudah mendapatkan berbagai jenis karya ilmiah dari internet. Alur selanjutnya bisa ditebak. Tulisan dicopy-paste, diedit seperlunya dan diganti dengan nama sendiri tanpa menyebutkan sumbernya. Dari yang penulis amati,hal seperti ini umum terjadi __kalau tidak mau dibilang “sudah tradisi”. Berawal dari sinilah budaya semacam ini seolah menjadi alternatif jitu untuk menunaikan tuntutan pendidikan terutama bagi mereka yang bermental pragmatis. Padahal, disadari atau tidak tindakan semacam ini tak lain merupakan ujung belalai dari merambahnya gurita penipuan dalam dunia pendidikan. Jika hal ini dibiarkan, bukan mustahil akan menjadi batu sandungan bagi perkembangan dunia pendidikan kita.

Indikasi Dekadensi Moral

Merebaknya tindakan plagiat menandakan adanya dekadensi moral dalam tubuh akademisi. Wilayah akademis yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran seolah telah ternoda dengan prinsip “cari enak” dari sebagian orang. Mental pragmatis dan jiwa hipokrit akademisi penganut budaya “cari enak” turut melegitimasi adanya alternatif tercela ini. Harga diri dunia pendidikanpun terabaikan demi ambisi pribadi. Tak perlu lagi peduli dengan prinsip-prinisp agung pendidikan, asal tugas terpenuhi dan gelar tercapai, tindakan tercelapun dapat dilakukan. Hasil akhir menjadi destinasi utama dibandingkan dengan proses dan kerja keras yang harus dijalani. Destinasi inilah yang kemudian memunculkan wabah-wabah dusta, penipuan, pemalsuan, dan kemunafikan intelektual diwilayah akademis .Wilayah yang seharusnya sarat dengan nilai pembelajaran dan kejujuran.

Plagiarisme memang bukan perkara baru. Namun, di Indonesia upaya untuk menangani perkara buruk ini agaknya tidak terlalu menampakkan keseriusan . Dibeberapa Negara maju, tindakan menjiplak karya orang lain dapat berdampak pada dikeluarkannya seorang murid dari sekolah atau universitas. Nampaknya hal ini perlu dicontoh oleh pemerintah Indonesia . Sejauh ini, belum ada pemanfaatan teknologi di Indonesia untuk mereduksi tindakan plagiat. Padahal dinegara lain banyak yang sudah mengembangkan piranti lunak untuk mendeteksi tindakan plagiat. Langkah semacam ini seharusnya perlu mendapat perhatian pemerintah, Karena sanksi akademis saja belum cukup untuk mengurangi plagiarisme. Selanjutnya, upaya yang tak kalah penting adalah memberikan pemahaman dan kesadaran akan buruknya plagiarisme kepada setiap civitas akademika. Penanaman kesadaran ini perlu digalakkan sejak dini. Jika kesadaran akan buruknya plagiarisme telah terbentuk oleh tiap individu, setidaknya dapat membuka jalan untuk memperbaiki moral dan martabat bangsa.