Senin, 22 Agustus 2011

Pencitraan vs Kepekaan
terbit diharian wawasan edisi Februari



"Ini tahun keenam menuju ketujuh gaji Presiden belum naik. Betul. Tapi memang saya niati. Saya ingin semua sudah mendapatkan kenaikan yang layak, tepat, dan adil. Tolong laksanakan, implementasikan dengan baik," Demikian salah satu isi pidato presiden dalam rapat pimpinan TNI/ polri beberapa waktu lalu. Rangkaian kata yang membentuk tak lebih dari 3 kalimat tersebut sempat menggegerkan publik akhir-akhir ini. Media mulai ramai memberitakan. Para akademisi, politikus, dan pihak-pihak yang merasa berkepentingan turut ambil bagian yang tetap saja ujung-unjungnya adalah perdebatan.

Sekilas tak ada yang salah dengan ungkapan presiden tersebut. Jika dicermati maknanya hampir sama dengan ucapan ayah saya setiap mengingatkan anaknya agar giat belajar. Logikanya hampir sama seperti kalimat “ini lebaran ketujuh bapak tidak membeli baju. Betul. tapi memang bapak niati. Bapak ingin semua bisa sekolah, kebutuhan tercukupi. Tolong, belajarlah yang rajin anak-anakku”. Agak berlebihan memang. Namun, adakah yang salah dengan pernyataan ini ? Lalu apa pasal yang membuat kalimat yang dilontarkan SBY menjadi sedemikian heboh sehingga melibatkan banyak pihak untuk mengkajinya.

Setidaknya ada beberapa ketidakwajaran yang membuat kalimat tersebut bermasalah. Pertama, ia menyampaikan ungkapan itu didepan publik. Entah karena faktor spontanitas atau memang sudah jadi kebiasaan bapak presiden kita. Hasrat untuk curhat dan caper didepan publik seolah menjadi jalan untuk mempertahankan citra positifnya. Namun curhat soal gaji didepan publik jelas tidak pada tempatnya. Kedua, kalimat tersebut diungkapkan dalam rangka rapim TNI/polri . Dari sekian banyak persoalan hukum dan keamanan di negeri ini, wajarkah jika masalah gaji dilontarkan didepan kalangan yang mana persoalan hukum berada dipundak mereka? Tidakkah sebaiknya curhat masalah hukum yang masih karut-marut? Ketiga, kalimat tersebut diucapkan ditengah kondisi masyarakat yang pesakitan. SBY tentunya tahu benar bahwa masih ada rakyatnya yang keracunan “tiwul” karena tak mampu membeli beras. SBY juga mengerti betul bahwa masih banyak warga yang bertahan di barak pengungsian akibat bencana yang sampai kini belum tuntas penyelesaiannya. Maka tak berlebihan , jika pernyataan tentang gajinya beberapa waktu lalu ibarat menabur garam diatas luka yang menganga.



Penyakit Pencitraan

Tujuh tahun menjadi orang pertama di negeri ini, bukan kali ini saja SBY menggegerkan publik dengan curhatnya. Sudah beberapa kali ia melakukan hal yang sama kendati dengan topik yang berbeda. Bagi penulis, hal ini merupakan kebiasaan ganjil jika tidak mau dikatakan “penyakit” akibat susah payah mempertahankan citra.

Baru saja tokoh-tokoh agama mengungkap kebohongannya, SBY sudah kerepotan untuk kembali mendongkrak citra positifnya. Kalimat “Ini tahun keenam menuju ketujuh gaji Presiden belum naik. Betul. Tapi memang saya niati” secara tersirat menunjukkan betapa besar keinginan SBY untuk meyakinkan rakyat akan niat mulia dan pengorbanannya. Kendati jika dicermati ungkapan ini dekat sekali dengan sikap tebar pesona dan congkak. Padahal jika mau jujur, tanpa pamer didepan publikpun rakyat sejatinya sudah cukup mengerti untuk menilai baik dan buruk pemimpinnya.

Kebiasaan ganjil ini tentunya akan berdampak buruk. Apalagi jika diucapkan didepan para jajaran tentara dan penegak hukum seperti polisi . Dikhawatirkan, kebiasaan ini menjadi pembenaran terhadap sikap ketidaktegasan pemimpin yang akhirnya dicontoh oleh bawahannya . Lebih mencemaskan lagi, jika curhat hanya dijadikan sebagai media pengalihan isu. Karut-marut pemerintahan dinegeri ini masih membutuhkan solusi. Sangat tidak arif dan janggal jika pemimpin yang seharusnya berada digarda terdepan dalam memberbaiki pemerintahan justru memusingkan masalah gaji.


Rindu Pemimpin Peka




Curhat SBY beberapa waktu lalu adalah semacam ironi di Negara yang masih pesakitan. Kondisi rakyat yang susah payah cari makan harus semakin tersakiti dengan ketidakpekaan pemimpin. kegagalan demi kegagalan yang bertambah-tambah, kebohongan-kebohongan yang terus mencuat, citra positif yang semakin tergerus, kekecewaan rakyat yang dalam tak terbendung adalah sederet bukti betapa akut penyakit pemerintahan dinegeri ini. Tapi alangkah baik hatinya rakyat Indonesia. Setelah sekian lama disakiti mereka toh tetap menerima keadaan dengan lapang dada. Satu hal yang rakyat harapkan adalah seperti ucapan orang tua terhadap anak “jika belum bisa membahagiakan, setidaknya jangan membuat jengkel “. Itulah sejatinya yang diharapkan masyarakat. Pemerintah memang belum bisa mensejahterakan rakyat, kendati demikian janganlah menyakiti hatinya. Setidaknya berikan kepekaan terhadap kondisi rakyat yang susah itu.

Pemimpin sejati seharusnya jujur, ikhlas, dan menyatu dengan desah hati rakyatnya. Bukan menyakiti, bukan pula membebani. Dan sikap semacam ini yang didambakan rakyat sejak dulu. Rakyat tak butuh pencitraan, karena citra positif akan berjalan beriringan dengan kinerja yang baik. Jika kinerja baikpun belum bisa diwujudkan, setidaknya berikan kepekaan. Dengan demikian, simpatipun mengalir tanpa diwarnai aroma tebar pesona.

Tidak ada komentar: