Senin, 22 Februari 2010

"Perjelas Pola Integrasi"

(terbit diharian Suara merdeka: 9 Januari 2010)

Rencana tentang peintegarsian UN dan SNMPTN memang belum bisa terlaksana pada tahun 2010 mendatang. Akan tetapi kajian dan pro kontra mengenai usulan tersebut agaknya akan tetap menjadi topik hangat dalam dunia pendidikan kita. Banyak hal menarik yang perlu dikaji terkait usulan tersebut. Salah satunya adalah terkait pola integarsinya, apakah integrasi yang bersifat mutlak atau integarsi seperti yang disebutkan dalam UU sisdiknas, PP No. 19 tahun 2005.

Melihat fakta lapangan yang terjadi dalam pelaksanaan UN selama ini, usulan tersebut memang terkesan agak utopis. Pasalnya hampir setiap tahun pelaksanaan UN selalu diwarnai aneka tindak kecurangan baik dari pihak murid maupun sekolah. Jika hal ini tidak segera diatasi, akan menjadi batu sandungan bagi upaya pengintegrasian UN dan SNMPTN. Ditambah lagi terkait dengan tujuan UN dan SNMPTN yang jelas berbeda. UN bertujuan untuk mengevaluasi hasil belajar siswa sedangkan SNMPTN bertujuan sebagai seleksi terhadap calon mahasiswa terkait program studi yang dipilihnya.

Namun, jika dilihat dari pola integrasi seperti yang disebutkan dalam UU sisdiknas, PP No. 19 tahun 2005 , saya mendukung ide tersebut. Dalam PP tersebut menyebutkan bahwa hasil UN dapat dijadikan pertimbangan memasuki PTN dan PT tidak perlu lagi mengadakan seleksi dengan memuat materi-materi yang telah diujikan dalam UN. Dalam hal ini PT cukup mengadakan seleksi untuk bakat, minat dan psikotes calon mahasiswa. Menurut hemat saya, pola integrasi semacam ini menjadi hal yang patut dijalankan karena dapat mengakomodasi kedua tujuan yang berbeda antara UN dan SNMPTN. Hal ini bukan berarti menghapus SNMPTN sepenuhnya, hanya saja materinya yang berubah. Ujian SNMPTN kedepan sebaiknya fokus pada bakat dan minat calon mahasiswa bukan mengulang materi UN. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah faktor efesiensi. Materi SNMPTN selama ini cenderung mengulang materi yang telah diujikan dalam UN, sehingga hasil UN terkesan mubazhir karena toh hasil UN tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk memasuki PT. Dengan adanya pengintegrasian tersebut pelaksanaan UN menjadi lebih efisien.

Ringkas kata, perlu kejelasan pola integrasi terkait rencana tersebut. Jika polanya sesuai, diharapkan mampu menjadi terobosan jitu untuk membenahi sistem pendidikan kita yang masih karut-marut.

Bola Salju Century

( terbit diharian seputar indonesia ,27 Januari 2010)
Ditengah karut-marut suasana pemerintahan kabinet Indonesia Bersatu II, kasus Bank Century agaknya akan terus menimbulkan ketegangan. Hampir setiap hari, kasus bailout yang menelan 6,7 triliun uang negara ini terus menjadi topik panas media massa . Masyarakat seakan terus dijejali oleh hiruk-pikuk yang tak jelas ujung pangkalnya. Beragam fakta yang bersumber dari berbagai subyek muncul ke publik dan menambah daftar ketidakpastian dalam menyelesaikan skandal keuangan terbesar dalam sejarah bangsa Indonesia . Ibarat bola salju, kasus century terus menggelinding untuk mencari koordinat yang tepat. Namun ,sejalan dengan pencarian koordinat tersebut , kasus Bank Century semakin menggelinding, membesar, membahayakan dan menyeret berbagai pihak.

Masih segar dalam ingatan kita isu ketidakharmonisan hubungan menkeu Sri Mulyani dengan Abu Rizal Bakrie beberapa waktu lalu yang berujung pada kekawatiran akan lengsernya jabatan sang menkeu. Juga isu tentang pecahnya koalisi pro pemerintah yang sempat mengalihkan perhatian publik. Contoh-contoh sederhana tersebut merupakan suatu bukti nyata bahwa upaya penegakan hukum dalam kasus Bank Century agaknya masih jauh panggang dari api. Masyarakat tidak pernah tau sampai kapan masalah ini akan menunjukkan titik terang.

Status bank Century sebagai bank hasil merger yang bermasalah adalah rahasia umum. pertanyaan dasarnya adalah, apakah suntikan dana dari LPS untuk bank yang bermasalah ini sudah tepat? telah lama publik menunggu jawaban resmi atas pertanyaan ini. Namun sekali lagi fakta-fakta yang terkuak salama ini memang seakan-akan serba tidak pasti sehingga memunculkan bermacam pertanyaan-pertanyaan lain yang menambah panjang alur perdebatan . Ironisnya, perdebatan yang semula mengacu pada dampak ekonomi, terus melebar keranah yang cenderung politis hingga menyeret pos-pos penting sebagai kambing hitam.

Mereduksi Produktifitas

Tak dapat dipungkiri, sejatinya masyarakat sudah hampir muak dengan upaya penegakan hukum dalam kasus bank Century. Berbagai demonstrasi dan kecaman muncul agar pihak yang berwenang segera menuntaskan kasus ini. ada kesan seolah-olah pemerintah lebih mengedepankan kepentingan politik masing-masing daripada uapaya menegakkan hukum. Akibatnya, waktu dan energy yang telah lama terkuras seakan sia-sia belaka. Padahal kedepan, masalah yang harus dihadapi bangsa ini masih menggunung. Jika mau berbicara mengenai oportunity lost, tentu sudah tak terhitung lagi jumlahnya.

Sampai saat ini, kasus century masih menunggu penyelesaian baik diranah hukum maupun politik melalui pansus hak angket DPR . Kejelasan dan kepastian kasus tersebut masih menimbulkan pesimisme dan optimisme publik. Publik sudah terlalu jenuh dengan perdebatan yang berkepanjangan. Dilain pihak, upaya menegakkan hukum yang berkepanjangan ini, secara langusng berimbas pada produktifitas pemerintah. Tugas pemerintah dalam mengemban amanah rakyat seakan “jalan ditempat” tanpa ada perubahan yang berarti akibat begitu banyaknya waktu yang tersita untuk kasus Century. Terlepas dari segala macam kepentingan, rasanya tidak berlebihan jika pemerintah harus focus kembali pada tujuan awal pengungkapan kasus Century dengan memfokuskan pada permasalahan yang ada. Jika semua elemen yang berwenang dapat bekerja dengan berpikir sehat dan jujur, setidaknya harapan untuk menegakkan keadilan dinegri ini bukan sekedar utopia.

Rabu, 16 Desember 2009

Dinamisator Pendewasaan Sikap Berpolitik

terbit diharian wawasan edisi 15 Desember 2009

Perjuangan SBY untuk mempertahankan citra positifnya agaknya masih penuh batu sandungan yang tak segan membuatnya jatuh bangun. Setelah menang pilpres putaran kedua, banyak kalangan yang meragukan kredibilitas SBY sebagai pemimpin yang tegas. Hal ini bukan tanpa alasan, pasalnya pasca pelantinkan dirinya sebagai presiden, banyak kasus besar yang seakan lamban ditanganinya. Berawal dari kasus mafia peradilan hingga kriminalisasi KPK dan kasus terahir yang tak kalah hebohnya adalah kasus bank century.

Tak hanya dinilai lamban, SBY juga tak jarang memunculkan kontroversi publik dengan pidato-pidatonya yang penuh ambiguitas. Tak ayal citra positif SBY sebagai pemimpin karismatik, lambat laun tereduksi menjadi figur yang penuh keraguan. Menyingkapi hal ini, muncul kemudian berbagai wacana dan demonstrasi sebagai wujud krtitik terhadap sikap lambannya kepemimpinan SBY. Ironisnya, sejalan dengan derasnya arus kritik dan demonstrasi, SBY justru kembali memunculkan kontroversi dengan pidatonya dalam rangka menyambut hari korupsi beberapa waktu lalu. Dalam pidatonya ia mengungkapkan kecurigaan adanya “penunggang” dibalik demo anti korupsi. Namun, pada kenyataannya ungkapan itu tidaklah terbukti.

Tak ada yang salah dengan ekspresi kecurigaan tersebut. Menurut hemat penulis, hal itu tidak lain adalah sebagai bentuk kewaspadaan (antisipasi) mengingat masalah yang dihadapi negri ini sudah semakin pelik, sehingga tak menutup kemungkinan akan adanya sebagian kalangan yang memanfaatkan situasi pelik itu untuk mencapai tujuan pribadinya. Sejarah historis negri ini telah begitu banyak mencatat hal yang senada. Namun, sikap tersebut menjadi kurang arif manakala diumbar dalam bentuk pidato kenegaraan yang tak hanya disaksikan oleh anggota dewan namun juga masyarakat pada umumnya. Jika pada kenyataanya kecurigaan yang telah mencuat kepublik itu tidak terbukti, hal ini justru akan menjadi alat pemecah belah yang berpotensi memunculkan sikap saling curiga. Akibatnya, mimpi mewujudkan persatuan bangsa bisa menjadi sekedar utopia.

Dinamika kepemimpinan

Berbicara mengenai kepemimpinan, sudah menjadi hal yang mathum jika sikap seorang pemimpin tak selamanya sejalan dengan kemauan rakyat. Ada kalanya pemimpin harus bersikap waspada dan hati-hati dalam mengambil tindakan. Namun, hal ini bukan berarti menjadi alat legitimasi bagi seorang pemimpin untuk bertindak semaunya. Seorang pemimpin yang paripurna tercermin dalam ucapan dan tindakannya yang selalu menyatu dengan harapan rakyat. Ia akan terus berada di garda terdepan dalam mengupayakan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyatnya tanpa takut ada yang “menjegal” ditengah jalan.

Seperti ungkapan Komaruddin Hidayat, jika seorang pemimpin jiwanya jujur, ikhlas, cinta rakyat dan mau belajar, rasanya tidak perlu khawatir akan jatuh dari jabatan atau dijatuhkan dari jabatannya. Tidak merasa berada dibawah hingga takut terinjak dan tidak pula merasa diketinggian sehingga takut jatuh. Ia akan menyatu dengan hati dan desah rakyatnya.

Sungguh menjadi hal sangat diharapkan, jika ungkapan tersebut diterapkan dalam jiwa kepemimpinan SBY saat ini. Korelasinya adalah bahwa berbagai kasus yang diikuti oleh berbagai demonstrasi dan kritik yang tertuju padanya, tidak lain merupakan dinamisator untuk mendewasakan dirinya. Tak perlu berjuang keras mengejar citra karena pada hakikatnya perjuangan yang siginfikan adalah bagaimana memenuhi harapan rakyat seperti yang dijanjikan pada masa kampanye dirinya dulu. Jika perjuangan itu terwujud , setidaknya rakyat akan tetap PD berkata “lanjutkan SBY” bukan malah sebaliknya “lepaskan SBY”.

Sekarang adalah saat yang tepat bagi SBY untuk merevitalisasi semangat dinamis kepemimpinannya yang pernah melahirkan kepercayaan besar dari rakyat. Saat ini bangsa indonesia tengah berada dalam kondisi sakit. Untuk mengobatinya perlu upaya yang progresif dan efisien. Kesembuhan dan masa depan bangsa ini banyak ditentukan oleh bagaimana pemimpinnya bersikap. Jika sikap pemimpinnya lemah ( lack of leadership ) dan ragu-ragu, akan menyebabkan indonesia terperangkap dalam kondisi pesakitan. Sebaliknya, jika pemimpinnya memiliki semangat dinamis dan integritas yang tinggi dalam mengembangkan sistem pemerintahan yang baik dan bersih ( good and clean), maka tidaklah mustahil untuk meraih mimpi Indonesia menjadi bangsa yang besar dan bermartabat.

Ringkas kata, terlalu besar ongkos yang harus dibayar bila seorang pemimpin terperangkap dalam sikap ragu. Sebab, segala jerih payah untuk mewujudkan mimpi bangsa selama ini menjadi sia-sia belaka. Oleh karena itu, bangkit dari keterpurukan dengan menanggalkan sikap ragu menjadi sebuah kemestian yang menjadi harapan besar bagi kemajuan bangsa ini.

Selasa, 01 September 2009

ingat ALLAH

saat masa itu tiba

saat masa itu tiba, masihkah sempat kita ingat apa-apa yang kita kagumi selama ini
saat masa itu tiba, masihkah kita sempat berucap "aku mencintaimu" kepada seseorang yang singgah dihati kita
saat masa itu tiba, masihkah kita sempat berlari mengharap lengan yang siap kan merengkuh tubuh kita....
dan saat masa itu tiba, adakah sesuatu yang kita banggakan selama ini berarti...

SUNGGUH saat itu akan datang sebagaimana telah sering aku saksikan ia mendatangi orang lain, teman-temanku, tetanggaku, bahkan orang tua atau kerabatku.

Sungguh, saat itu tak mungkin kuduga sebagaimana juga mereka tak pernah menduga didatangi oleh nya. Sungguh dia akan menjemput aku pergi ke tempat yang tak mampu aku bayangkan, tempat yang tak pernah kembali lagi mereka yang pergi ke sana, tempat yang di sana aku akan dihadapkan dengan pertanyaan, tempat yang telah memisahkan kita dengan semua keindahan semu, dengan laut yang biru, senja yang jingga,buah yang ranum dan senyum manis sang pujaan hati.

Sungguh, semua itu benar adanya. Tak ada alasan bagi ku untuk tidak percaya hal itu bakal terjadi, sebagaimana tak ada alasan bagi ku untuk mengingkari adanya Al Khaliq. Juga sebagaimana tak ada alasan bagi ku untuk memungkiri adanya getaran kegelisahan dalam bathinku tatkala aku melakukan perbuatan yang fitrahku mengenalnya sebagai dosa.

Hanya saja. Sanggupkah aku menghadapi itu? Saat di mana aku didudukkan di lubang yang gelap, kemudian datanglah kepada ku dua malaikat mengajukan pertanyaan: Siapa Rabb-mu, apa agamamu, dan siapa nabimu?
Sanggupkah aku menjawabnya? …

Apa yang akan aku katakan, ketika ditanya tentang siapa Rabb-ku? Cukupkah kujawab: Rabb-ku adalah ALLAH? Semudah itukah menghadapi fitnah ditempat itu? Rasanya tidak. Tidak akan semudah itu. Sebagaimana telah tertanamkan dalam jiwaku keyakinan akan adanya Engkau, tertanam pula keyakinan bahwa tidaklah segala sesuatu itu ada dan terjadi dengan sendirinya serta tanpa maksud dan tujuan.

Lantas bolehkah terlintas dalam benakku: “Mustahil aku akan tersesat dan terjatuh ke dalam kekufuran?” Bolehkah terucap lewat lisanku: “Keberhasilan yang aku peroleh adalah semata-mata hasil prestasiku?” Bolehkah aku beranggapan: “Bahwa tanda keridhoan-Mu adalah dengan terjadinya apa yang terjadi atau berlakunya apa yang hendak aku lakukan?”

Sungguh tak mungkin aku mengatakan: “Alangkah kejamnya Engkau, membiarkan seorang bayi lahir dalam keadaan cacat. Alangkah tak adilnya Engkau, membiarkan pelaku maksiat sejahtera bermandikan kesenangan, sedangkan mereka yang tha’at dalam keadaan miskin berlumurkan kesengsaraan.” Sungguh tak mungkin aku mengatakannya. Namun, mengapa sering bathin ini protes manakala aku tertimpa musibah atau doaku tak kunjung terkabul?

Ya, Robbi. Ternyata tak ada jalan untuk mengenal Mu kecuali melalui diri-Mu. Kalau bukan karena hidayah-Mu, sungguh akan tertanam dalam batinku, terucap dari lisanku, dan terwujud lewat perbuatanku segala yang bertentangan dengan kekuasaan-Mu, bertentangan dengan hak-Mu untuk diibadahi, serta bertentangan dengan kemuliaan nama-nama dan sifat-sifat- Mu. Maka, sudahkah aku mengenal segala kekuasaan-Mu dan mengakui keesaan-Mu dalam hal mencipta, memiliki, dan mengatur alam semesta ini?

Kemudian, apa yang akan aku katakan ketika ditanya tentang apa agamaku? Cukupkah kujawab: Agamaku Islam? Semudah itukah menghadapi fitnah dialam sana? Rasanya tidak. Tidak akan semudah itu. Sebagaimana telah tertanam di dalam jiwaku keyakinan akan kesempurnaan agama ini, tertanam pula keyakinan bahwa agama ini disampaikan kepada manusia agar mereka memperoleh kemudahan dan kebahagiaan hidup di dunia -sebelum di akhirat kelak tentunya-.

Lantas bolehkah terlintas dalam benakku: “Agama ini tidak realistis, kurang membumi?” Bolehkah terucap lewat lisanku: “Jaman sekarang ini jangankan mencari yang halal, mencari yang haram saja susah?” Bolehkah aku beranggapan: “Semua agama itu baik?”

Sungguh tak mungkin aku mengatakan: “Alangkah enaknya menjadi orang-orang kafir di muka bumi ini, alangkah kunonya agama ini, dan alangkah sempit serta terbatasnya ruang ibadah yang tersedia di sana.” Sungguh tak mungkin aku mengatakannya. Namun mengapa sering bathin ini protes manakala terasa dunia dan segala suguhannya tak memihak kepada ku? Mengapa bathin ini diam saja dan tak sedikitpun tergerak untuk membenci mereka yang menghujat agama ini?

Ya, ALLAH. Kalau bukan karena hidayah-Mu; sungguh akan tertanam di dalam bathinku, terucap dari lisanku, dan terwujud lewat perbuatanku segala yang bertentangan dengan agama yang mulia ini. Bahkan boleh jadi aku tak mengenal agama ini sebagaimana ia diperkenalkan oleh pembawanya. Boleh jadi aku tak mengenal keseluruhan aturan yang ada di dalam nya. Dan boleh jadi aku telah terjatuh ke dalam perbuatan yang telah mengeluarkan aku dari nya.

Kemudian, apa yang akan aku katakan ketika ditanya tentang siapa nabiku? Cukupkah kujawab: Nabiku Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam? Semudah itukah fitnah dialam itu? Rasanya tidak. Tidak akan semudah itu. Sebagaimana telah tertanam keyakinan dalam bathinku tentang kemuliaan akhlaqnya, sifat amanahnya, dan kejujurannya; tertanam pula keyakinan bahwa dialah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam teladan terbaik bagi umat manusia.

Lantas bolehkah terlintas dalam benakku: “Ada jalan untuk mendekatkan diri kepada ALLAH Subhanahu Wa Ta’ala selain dari yang telah dicontohkan oleh beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam?” Bolehkah terucap lewat lisanku: “Memelihara jenggot itu jorok, menjilat-jilati jari sehabis makan itu juga jorok, dan poligami itu jahat?” Bolehkah aku beranggapan: “Mengikuti Sunnahnya itu tidak wajib?”

Sungguh tak mungkin aku mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam lupa menyampaikan ini dan itu. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sengaja menyembunyikan risalah atau Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak mengetahui apa yang baik bagi umatnya.” Sungguh tak mungkin aku mengatakannya. Namun mengapa sering bathin ini protes dan merasa berat dengan apa yang telah ia tetapkan dan contohkan? Mengapa akal dan hawa nafsu ini sering merasa lebih tahu -tentang baik dan buruk- ketimbang beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam?

Ya, Robbi. Kalau bukan karena hidayah-Mu; sungguh akan tertanam di dalam bathinku, terucap dari lisanku, dan terwujud lewat perbuatanku berbagai pengingkaran terhadap kenabian dan kerasulan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Boleh jadi itu bermula dari acuh tak acuhnya aku untuk mengenal nama-nama dan nasab beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan dari kurang minatnya aku membaca serta mempelajari riwayat hidupnya. Akhirnya butalah aku akan sunnah-sunnahnya dan tak mengertilah aku akan misi risalahnya. Dan jadilah aku orang yang hanya ikut-ikutan menyebut namanya tanpa memahami pertanggungjawabann ya.

Sanggupkah aku menjawabnya? …

Sungguh, aku akan berhadapan dengan pertanyaan yang jawabnya tak cukup di lisan, tetapi dari dalam keyakinan dan dibuktikan oleh perbuatan. Bukan hasil dari menghafal, tetapi dari beramal. Tak ada yang sanggup menuntun aku untuk menjawabnya kelak kecuali Engkau, Ya ALLAH. Aku tahu itu dan aku yakin, sebagaimana telah Engkau janjikan:

يُثَبِّتُ اللّهُ الَّذِينَ آمَنُواْ بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ

“ALLAH meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat…” (Ibrahim: 27)

Sumber: Ushuluts Tsalatsah
sekali lagi, saat masa itu tiba, masihkah ada waktu bagi kita walau untuk sekedar merenung akan hitamnya noda hidup yang akan kita bawa menghadap nya.laailahaillaanta subhanaka inni kuntu minadzdzolimiin...

Rabu, 26 Agustus 2009

oleh rumi: terbit di harian wawasan edisi 25 Agustus 09

Pendidikan Moral Dalam Bias Globalisasi


Berbicara mengenai pendidikan moral tak bisa lepas dari kondisi Zaman yang terus berkembang. Sejarah historis kemerosotan pendidikan moral di Indonesia terkait erat dengan derasnya arus globalisasi. Era global telah menyeret Indonesia memasuki era kompetitif yang memaksa untuk mengejar ketertinggalannya dengan bangsa lain. Ironisnya, hal tersebut justru mengantarkan Indonesia menuju krisis multidimensi dalam berbagai sektor tak terkecuali sektor pendidikan.

Pendidikan pada era global ini cenderung mengedepankan aspek intelektual tanpa adanya penanaman nilai moral dan sikap kemanusiaan yang efektif. Proses pendidikanpun lebih bersifat sekedar “transfer ilmu” bukan pembentukan karakter. Akibatnya peran dan tujuan pendidikan yang notebene adalah salah satu cara untuk meningkatkan kualitas SDM serta proses pendewasaan sikap harus tereduksi menjadi media pencetak generasi kualitas “robot”.

Tak dapat dipungkiri globalisasi telah membawa dampak positif bagi kemajuan pendidikan di Indonesia namun disisi lain ia juga telah menggeser nilai-nilai luhur bangsa yang semula menjadi kelebihan dan ciri khas bangsa Indonesia. Dunia pendidikan saat ini sering menerima kritikan dari masyarakat akibat kurangnya kontrol terhadap peserta didik. Banyak pelajar terlibat kasus tawuran, penyalahgunaan obat terlarang, penyimpangan sexual dan berbagai tindakan kriminal lainnya. Selain itu budaya hedonis juga marak menghinggapi kaum pelajar. Kiblat mereka bukan lagi norma agama dan susila namun berganti menjadi televisi, tabloid remaja, internet dan berbagai jenis teknologi infromasi lainnya.

Tak ada yang salah dengan merebaknya media-media tersebut selama penggunaanya untuk hal-hal yang besifat positif, namun aktualisasinya ternyata masih jauh dari harapan. Sebagian kaum pelajar banyak yang memanfaatkan kemajuan teknologi informasi untuk hal-hal yang bersifat negatif. Mereka cenderung mudah meniru apa yang ditampilkan media tanpa memperhatikan sesuai atau tidaknya dengan jati diri dan kultur sosial. Akibatnya munculah kemudian generasi-generasi plagiat dan individualis dengan moral minimalis. Hal inilah yang menjadi tantangan besar dunia pendidikan di Indonesia khususnya pendidikan moral.

Perlu Reaktualisasi

Derasnya arus globalisasi adalah kenyataan yang tidak dapat dihindari namun bukan berarti tidak dapat difilter. Globalisasi seharusnya bisa menjadi wadah untuk mencetak manusia yang dewasa, kreatif, dan produktif bukan malah menjadi wadah perusak moral. Dalam hal ini pendidikan menjadi harapan utama untuk mengatasi kemersotan moral bangsa sebagai efek negatif globalisasi. Pertanyaanya adalah pendidikan yang bagaimanakah yang dapat menanggulangi krisis moral di negeri ini?

Dalam UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional bab IX pasal 39 butir 2 menyebutkan bahwa isi kurikulum setiap jenis jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat pendidikan pancasila, pendidikan agama, dan pendidikan kewarganegaraan. Jelas undang-undang ini menjadi dasar tentang keharusan mengaktualisasikan pendidikan agama dan moral dalam sistem pendidikan di Indonesia. Namun pada pelaksanaanya banyak kendala yang menghadang salah satunya adalah benturan globalisasi yang banyak menggeser arajan pokok pendidikan agama dan moral.

Ada beberapa strategi yang perlu dikembangkan untuk memantapkan pengajaran moral dalam pendidikan di Indonesia. Pertama, Menurut Abudin Nata dengan memantapkan pelaksanaan pendidikan agama karena nilai-nilai dan ajaran agama pada akhirnya ditujukan untuk membentuk moral yang baik.

Kedua, menerapkan pendidikan moral dimasyarakat. Seperti halnya pendidikan moral disekolah, masyarakatpun memiliki peranan penting dalam pembinaan moral anak didik. Masyarakat yang bermoral baik akan melahirkan generasi yang baik, sebaliknya masyarakat yang bermoral buruk akan melahirkan generasi yang rusak. Ketiga, merubah orientasi pengajaran moral disekolah yang semula bersifat subject matter oriented yakni fokus pada pengajaran moral dalam arti memahami dan menghafal sesuai kurikulum menjadi pengajaran moral yang berorientasi pada pengamalan, pembentukan karakter dan penumbuhan sikap kemanusiaan melalui pembiasaan hidup sesuai dengan norma agama dan sosial.

Pendidikan merupakan wadah untuk melahirkan SDM yang menguasai ilmu pengetahuan dan bermoral luhur. Krisis moral bisa menjadi bumerang jika tidak ditanggulangi secara efektif. Untuk menanggulanginya perlu upaya dan kerjasama yang efektif antara semua pihak baik keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Jika hal itu terwujud, setidaknya masih ada harapan untuk mewujudkan mimpi Indonesia menjadi bangsa yang maju dan bermartabat.

Senin, 27 Juli 2009

TO OUR BELOVED MOM. . . .




Seputih Kasih Ibu

Kata orang, aku lahir dari perut. . . ibu
Bila dahaga, yang susukan aku. . . ibu
Bila lapar, yang suapkan aku. . .ibu
Bila kesepian, yang senantiasa disampingku. . .ibu
Ibu bilang, kata pertama yang kuucap. . .ibu
Bila bangun tidur, yang aku cari. . . ibu
Bila nangis, orang pertama yang datang. . .ibu
Bila ingin bermanja,, aku dekati. . .ibu
Bila sedih, yang bisa membujukku hanya. . .ibu
Bila nakal, yang memarahi aku. . .ibu
Bila merajuk, yang membujukku Cuma. . .ibu
Bila melakukan kesalahan, yang paling cepat marah. . .ibu
Bila takut, yang menenangkan aku. . .ibu
Bila ingin memeluk, yang aku suka memeluk. . .ibu
Aku selalu teringat . . .ibu
Bila sedih, aku telepon. . .ibu
Bila senang, orang pertama yang kuberi tahu. . .ibu
Bila bingung, aku suka curhat pada. . . ibu
Bila takut, aku selalu panggil. . .”ibuuuuuuuu
Bila sakit, orang paling risau adalah. . .ibu
Bila akan ujian, orang paling sibuk juga. . .ibu
Bila buat perkara, yang marahi aku dulu. . .ibu
Bila pulang sekolah, yang selalu menyambutku. . .ibu
Bila ada masalah, yang paling risau. . .ibu

Yang masih peluk aku sampai hari ini. . .ibu
Yang selalu masak kegemaranku. . .ibu
Yang selalu simpan dan kemaskan barang-barangku. . .ibu
Yang ajari aku memasak. . .ibu
Yang selalu puji aku. . .ibu
Yang selalu nasihati aku. . .ibu
Yang selalu bangun disepertiga malam. . .ibu
Yang selalu menangis mengantar aku pergi. . .ibu
Yang selalu pikirkan aku makan apa. . .ibu
Yang selalu sebut namaku dalam doa. . .ibu
Bila aku mencintai seseorang . . .
Orang pertama yang aku rujuk. . .ibu

Setelah aku punya pasangan hidup. . .
Bila senang, aku cari pasanganku
Bila sedih, aku cari. . .ibu
Bila berhasil, aku ceritakan pada pasanganku
Bila gagal, aku ceritakan pada. . .ibu
Bila bahagia, aku peluk erat pasanganku
Bila berduka, aku peluk erat. . .ibuku
Bila libur, aku bawa pasanganku
Bila sibuk, aku antar anak kerumah. . .ibu
Selalu aku ingat pasanganku
Dan selalu ibu ingat aku
Bila telepon, aku akan telepon pasanganku
Entah kapan aku akan telepon ibu
Selalu. . .aku belikan hadiah untuk pasanganku
Entah kapan aku akan belikan hadiah untuk ibuku.

Dan Rabbmu telah mengatakan supaya kamu jangan menyembah selain-Nya dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya (Al-Isra’:23)
Siapakah yang berhak aku pergauli dengan baik. Nabi menjawab : ibumu. Kemudian siapa? Nabi menjawab : ibumu. Kemudian siapa? Nabi menjawab : ibumu. Kemudian siapa? Bapakmu. (Muttafaq ‘alaih).

Ah! Sungguh terlalu malu jika kuingat hutang budiku pada ibu. Berderai air mata ini jika kuingat kasih sayangnya yang sekian lama hampir terlupa.
Terlalu banyak budinya yang kubalas dengan menyakiti
Kasih sayangnya kubalas dengan menentang
Aku lupa ya Rabbi. . .berkat usaha, asuhan dan didikannya aku berhasil kini
Kepayahan sanggup dilupakan ketika mengandungku
Kesakitan yang amat sangat sanggup dilalui ketika melahirkanku
Tidur malamnya aku ganggu
Titik peluhnya basah kering demi membesarkanku
Tidak pernah ia mengadu letih
Tidak pernah ia mengadu sakit
Lauk yang dimulut sanggup ia keluarkan untuk diberikan padaku
Harta yang dikumpulkan ikhlas dilepas untuk pendidikanku
Namun, aku lupa semua itu ya Rabbi. . .
Karena ia tak pernah mengeluh padaku ya Rabbi. . .
Karena ia tak pernah mengadu padaku ya Rabbi. . .
Hanya senyum tulus dan wajah teduh yang ia beri untukku
Aku tak sempat memperhatikan guratan-guratan kerut didahinya
Aku bahkan tak sadar kini rambutnya telah memutih
Ah! Toh kupikir ibuku tetap cantik
Matanya yang sayu tak pernah berubah
Selalu menyiratkan ketulusan dan membawa energi baru untukku
Ya Rabbi. . .
Betapa luhurnya hati bunda
Tak pernah ia menuntut apa-apa yang telah ia beri untukku hingga kini
Ibu tak malu membawaku kemana-mana dalam keadaan perutnya membesar selama 9 bulan
Ibu tak malu menyusukanku dalam keadaan apapun manakala aku merengek-rengek kelaparan
Hingga kini ibu yang selalu membangga-banggakanku
Memuji dan selalu menyanjungku
Seburuk apapun perangaiku.
Never turn away from me . . .mom. . .
Coz I love U somuch . . .
with all my heart. . .

Allahummaghfirli wa liwalidayya,
Warhamhuma kamaa rabbayaanii shogiiro. Amin

Minggu, 24 Mei 2009

the fundamental problems during general election

The Abstention Phenomenon as Impact of Pessimism


The Indonesian general election that already held on April 9th still leaves many problems. With 171 millions voters and 44 political parties contesting 560 seats on a party political basis for DPR (House Representative Council), 132 seats on an individual basis for the DPD (Regional Representative Council) for 33 provinces and 18.000 local government seats, this was a formidable logistics exercise.

Of course there were problems, including faulty voting list, the wrong ballot papers in the wrong areas, late arrival of wrong ballots in the remote areas, and attempts of voting by impersonators, the dead and the born and also there were many election fraud including vote selling, bribery, free lunches, and also followed by heavy rainfall and floods. From those reasons automatically influence the stump in voter turnout.

Many experts and researcher agree that this years elections were more poorly attended than in the 2004 polls. The number of abstention was increase. Many researchers record that the abstention rates of 28 percent, up from 25 percent in 2004. It means that almost 40% Indonesian society gave a pessimism signals to the government. Most of them were so hopeless with the unstable political situations in Indonesia. Most of them think that washing their hands of politics is better than participate in politics. For them, join in politics or not can’t change their condition because almost year by year everybody know the number of corruption, the number of poverty, the number of education problems and many more the government homework’s which are have not solved yet till now.

Then . . . let’s face it! In fact, there were thousands of people around Indonesian country wait for their bright future, their social welfare to get such a better condition for their life. But as we know the government can’t do more for their expectations. The governments just can seats in their comfort chairs with a millions of salary without concern about poverty condition. In addition, vote abstentions also caused by political reason. Many people were fed up with voting list and election logistic. Multy-party system was so confused and there were many election frauds such a money politics occurred everywhere. There were many leaders of every party blames each other.

As a part of common people I can’t go along with the idea that the abstention is a good solution, but in fact a can’t blame the people who choose the abstention way in this general election, because their reason were so rational.
How do they choose an unfamiliar candidate who comes from many parties?
How do they believe with the candidate?
Absolutely, it was so difficult condition, so I can conclude that the only solution to reduce the abstention is CHANGE. Change here has many definitions. Firstly, change in system. Is better if the participant in the next general election only ten parties not multy-party as now. Second, change in mentoring, it means that the party should be clever when doing campaign without make many politics or bad tricks. Third, change in trusts, it means that the government must improve their work. I have an opinion, they must follow FAWT rules (Full Action Without Talk) to fight corruption to increase Indonesian economics and make a stable politic condition etc. and last but not least, the government must concern with their society condition not only seats in their comfort chairs but they also have to go around looking at their society.