Terorisme, Perlawanan Kaum Marjinal
terbit diharian wawasan edisi 1 Agustus 2011
Jumat,22 Juli 2011, Bom meledak di gedung kementrian Norwegia. Ledakan dahsyat telah meluluhlantakkan salah satu pusat pemerintahan di negara itu. Kabarnya serangan ini merupakan tragedi terdahsyat paska perang dunia II. Selang beberapa waktu, kembali teror mengguncang negara itu dengan aksi penembakan yang dilakukan oleh seorang ekstrimis sayap kanan Anders Behring Breivik. Lebih dari 90 orang tewas dan ratusan lainnya mengalami luka-luka.
Mengamati tragedi yang terjadi di Norwegia terdapat fakta menarik yang mengingatkan kita pada bencana serupa di negeri ini. Indonesia tampak sebagai negeri multikultur yang telah kenyang terhadap aksi terorisme. Ledakan bom seolah enggan enyah dari bumi khatulistiwa kendati pemerintah terus gencar mengadakan perlawanan. Ironisnya, peristiwa tersebut kerap dilakukan oleh sebagian kalangan ekstrimis Islam sehingga menimbulkan sentimen terhadap agama dengan pemeluk mayoritas ini . Padahal seperti yang banyak didengungkan sebagian besar pihak bahwa agama manapun tidak ada yang menghendaki kekerasan, penindasan ataupun kerusakan di muka bumi.
Kekerasan Tanpa Wajah
Yang menjadi titik temu antara tragedi di Norwegia dengan yang terjadi di Indonesia selama ini adalah motif dan landasan pelaku pengeboman. Keduanya lahir dari sebuah ekstrimisme ideologis yang berujung pada pembenaran tindak kekerasan . Genderang perang melawan dominasi tertentu menjadi landasan pokok penggunaan sikap radikal. Sikap ekstrim ini kemudian diwujudkan dalam bentuk teror terhadap masyarakat maupun state. Dalam pandangan teroris, state merupakan representasi penjajah kaum marjinal. Pelaku teror dengan penuh keyakinan menyatakan bahwa tindakannya bukanlah sebuah kesalahan melainkan semacam wujud perang suci. Hal ini pula yang dilakukan Breivik maupun Noor Din Top beberapa waktu lalu. Paska penyerangan, keduanya sama-sama memberikan testimoni bahwa tindakan yang mereka lakukan dalam rangka melawan dominasi tertentu atas dasar kebencian dan ketidakadilan. Namun kenyataan dewasa ini, isu terorisme kerap disandingkan dengan fenomena Islam. Ada stigma seolah-olah Islam adalah agama yang melegitimasi penindasan dan kekerasan. Padahal hakikatnya terorisme merupakan sebuah fenomena yang bisa datang dari pihak manapun.
Menurut definisi Dirjen perlindungan HAM Departemen kehakiman dan HAM , terorisme adalah pemakaian kekuatan atau kekerasan tidak sah melawan orang atau properti untuk mengintimidasi atau menekan suatu pemerintahan, masyarakat sipil, atau bagian-bagiannya, untuk memaksakan tujuan sosial atau politik. Jika mengacu pada definisi ini, terorisme bukanlah fenomena agama atau kelompok tertentu. ia tidak lain merupakan sebuah kejahatan tanpa wajah dan nama. Bukan berwajah Islam, kristen ataupun atas nama kelompok lain.
Terorisme memiliki ciri dominan yaitu menggunakan kekuasaan (by force), kekerasan (violence), dan mempunyai tujuan-tujuan politik. Adapaun tujuan politik tersebut selalu dipengaruhi oleh ideologi tertentu. Tragedi Norwegia, tragedi Oklahoma di Amerika Serikat, Tragedi Bom Bali ataupun sejenisnya yang telah menimpa negeri ini kiranya dapat menjadi contoh betapa pengaruh ideologi mampu membius sebagian orang untuk melakukan kekerasan. Tanpa peduli dari agama apa mereka berasal.
Melihat masalah terorisme, sebetulnya semua menyangkut persoalan ketidakadilan. Artinya, ada kelompok-kelompok yang termarjinalkan dalam sebuah tatanan global yang merasa sering dirugikan dan tidak bisa menyelesaikan permasalahan secara baik. Berangkat dari sini kemudian memunculkan gerakan radikal sebagai respon atas ketimpangan tersebut. Seolah-olah hanya dengan kekerasanlah jalan penyelesaian dapat dicapai. Faktor lainnya adalah mengenai maraknya penyebaran ideologi radikal. Merebaknya ideologi semacam ini juga tak lain sebagai akibat dari ketimpangan sosial-ekonomi-politik dan ketidakailan. Dengan demikian dapat ditarik pendapat bahwa selama tatanan dalam sebuah negara maupun global masih tidak bersahabat terhadap kaum marjinal, ancaman terorisme akan semakin sulit dibendung.
Terorisme dalam bentuk apapun merupakan kejahatan kemanusiaan yang tidak bisa ditolerir oleh negara atau agama manapun. Dalam konteks ke-Indonesiaan, perang melawan teror merupakan sebuah keharusan mengingat kemajemukan negeri ini masih memberikan ruang kepada pemikiran maupun kelompok radikal. Keberadaan teror mengancam upaya perdamaian dunia yang berujung pada ancaman terhadap hak hidup setiap orang. Sudah saatnya pemerintah maupun pemegang tatanan global merumuskan persoalan ini secara sistematis dan terpadu. Hal ini bisa direalisasikan dengan melibatkan kalangan masyarakat akademis dan rohaniawan. Sejauh ini penanganan perkara terorisme seolah hanya menjadi dominasi kepolisian.
Dalam upaya meredam ideologi radikal, upaya awal yang perlu dilakukan adalah meminimalisasinya. Segala macam ketimpangan dan ketidakadilan mesti perlahan dihilangkan. Karena selama hal tersebut masih tumbuh subur, maka perjuangan atas nama ideologi tertentu akan semakin subur pula. Kedua adalah dengan melakukan komunikasi intensif terhadap semua pihak yang terkait tindak terorisme. Mulai dari pelaku, aktor intelektual maupun individu-individu yang dekat secara ideologis dengan mereka. Komunikasi semacam ini sering lalai dilakukan bahkan seolah diabaikan. Padahal komunikasi intensif setidaknya mampu memecahkan akar persoalan menuju proses “penyadaran” yang lebih sempurna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar