terbit diharian wawasan edisi 4 Desember 2010
Kekerasan terhadap Tenaga Kerja Wanita Indonesia (TKWI), paling tidak dalam beberapa waktu belakangan, telah menjadi isu aktual . Sebuah peristiwa yang sebenarnya bukan isu baru namun kembali menyita perhatian publik setelah dalam sekian waktu mengalami mati suri. Hal ini berawal dari berita kekerasan yang menimpa TKW bernama Sumiati beberapa waktu lalu. Dalam waktu singkat berbagai media secara sporadis mengangkatnya sebagai berita sentral. Kasus-kasus lain yang selama ini tak tercium publikpun turut mencuat.
Berangkat dari kasus kekerasan yang seringkali menimpa TKWI, tersimpan sebuah fakta ironis. Sangat ironi, bahwa dalam tatanan masyarakat global yang dibangun diatas prinsip rasionalitas, demokrasi dan humanisasi, budaya kekerasan justru sering tak terpisahkan dari kehidupan para TKWI yang merantau di negeri orang. Kasus semacam ini memang tidak bisa digeneralisasi. Pasalnya tidak semua TKWI yang bekerja di luar negeri mengalami perlakuan tak manusiawi. Sebagian dari mereka ada pula yang sukses. Namun jika mengamati beberapa kasus kekerasan yang menimpa beberapa TKWI , seolah menggambarkan eksisnya ketertindasan legal yang didominasi oleh golongan superior terhadap beberapa buruh migran .
Tak ubahnya sebuah praktik perbudakan,dimana majikan berhak sepenuhnya atas diri bawahannya, maka kasus ini seolah mencerminkan bahwa praktik tersebut belum sepenuhnya lepas dalam tatanan masyarakat modern. Bedanya, perbudakan dewasa ini identik berwajah perempuan yang lemah dan inferior.
Belenggu Ekonomi
Perlakuan tak manusiawi yang diterima beberapa TKWI mengingatkan kita kepada masa kolonial, dimana eksploitasi terhadap golongan inferior adalah sah. Inilah yang mendasari adanya perbudakan, dimana menempatkan majikan sebagai “penguasa” dan bawahan sebagai “makhluk belian” yang bisa dikuasai secara absolut tanpa adanya timbal balik , termasuk menerima penganiayaan fisik. Tindakan eksploitatif itu nampak akrab terdengar jika menyinggung soal penganiayaan yang sering diterima pekerja Indonesia oleh majikannya . Kenyataan seperti ini tak pelak mengancam keselamatan perkerja perempuan dan memaksanya menjadi makhluk nonesensial di negeri orang . Menurut hemat penulis, TKW sebagai golongan yang pada dasarnya “inferior” terjebak paling tidak dalam tiga belenggu ekonomi.
Pertama, Bagi pihak pengimpor, TKW merupakan “kategori ekonomi”. Sebuah kategori bagi sesuatu yang bisa diperas tenaganya dan bisa dibayar dengan harga semurah mungkin. Kedua, bagi pengekspor , TKW merupakan “peluang ekonomi”. Peluang bagi masuknya devisa Negara dengan modal seminim-minimnya. Bukankah sudah umum diketahui bahwa TKI merupakan penyumbang devisa terbesar kedua di negeri ini? Dan terakhir bagi TKW itu sendiri, bekerja dinegeri orang memberikan harapan kemapapanan ekonomi yang akan ia raih setelahnya. Kelemahan ekonomi yang makin meningkat memaksanya memasuki bursa tenaga kerja dimana mereka akhirnya terpuruk di sektor-sektor berupah “lumayan” walaupun nyawa menjadi taruhan. Ironisnya kenyataan yang diterima dilapangan justru kerap berbanding terbalik dengan harapan. Pelecehan seksual, penganiayaan fisik, dan hak yang tak dibayar merupakan persoalan klise yang dihadapi TKW Indonesia dari masa kemasa. Ketiga belengggu tersebut menjadi dasar mengapa profesi menjadi TKW (umumnya sektor rumah tangga) sering dianggap sebagai aternatif jitu dalam mengatasi persoalan ekonomi.
Hal tersebut diatas cukup masuk akal mengingat gagalnya pemerintah dalam mengatasi kemiskinan dan pengangguran yang tak terbendung tiap tahunnya. Persoalannya adalah pada praktik eksploitatif yang sering bersifat legal di Negara pengimpor. TKW diperlakukan tak ubahnya budak. Durasi waktu kerja yang melampaui batas , tidak adanya jaminan kesehatan dan keselamatan, bahkan sering menerima penganiyayaan muncul menjadi sebuah kejahatan tersembunyi. Ironisnya tindakan semacam ini terjadi diatas penjanjian legal bernama “kontrak kerja”.
Belajar dari Filiphina
Kendati telah berulang kali terjadi, upaya pemerintah dalam menangani kasus TKW “bermasalah” nampaknya belum menyentuh kulminasi. Persoalannya adalah pada sikap pemerintah yang cenderung reaktif dan bukan prefentif. Padahal idealnya, pemerintah seharusnya turun tangan mulai dari awal. Meliputi perekrutan, penyadaran hukum, pengiriman, penempatan , penertiban agen illegal, serta pengawasan terhadap berjalannya undang-undang perburuhan, baik yang berlaku di Indonesia maupun dinegara tujuan TKWI.
Sebagai sesama Negara berkembang, agaknya Indonesia perlu belajar dari sikap Filiphina. Pemeritah Filipina sadar betul akan gelar terhormat TKW sebagai “pahlawan devisa” yang banyak berjasa bagi perekonomian Negara. Kesadaran semacam ini dibarengi kepedulian yang luar biasa terhadap nasib para TKW yang bekerja diluar negeri.
Di Filipina ada lembaga POEA (philipines Overseas Employment Administration) yang mengelompokkan pekerja menjadi tujuh kategori yakni pekerja professional dan teknis, pekerjaan administratif dan manajerial, pekerjaan klerek, tenaga pemasaran, pekerja sektor jasa, pekerja pertanian, dan pekerja produksi. Adanya pengelompokan tersebut memudahkan pemerintah Filipina dalam mendata warganya yang bekerja diluar negeri. Filpina juga mengharuskan adanya negosiasi antara perusahaan pengerah tenaga kerja dari kedua Negara sebelum dilakukan pengiriman, termasuk didalamnya menetapkan standar gaji. Selain itu pemerintah Filipina secara langsung ikut mengawasi sejak masa perekrutan meliputi pelatihan keterampilan, penanaman nilai-nilai sosial dan profesionalisme. Prinsipnya adalah tenaga kerja yang dikirim dari Filipina harus berkualitas, professional, jujur dan disiplin untuk mampu bersaing dengan pekerja dari Negara lain di pangsa internasional.
Mungkin Indonesia perlu belajar untuk menerapkan sistem yang berlaku di Filipina sesuai dengan keadaan. Agar kelak TKWI lebih dihargai sebagai manusia. Jika pemerintah mampu menerapkan upaya kesinambungan untuk kesejahteraan dan keselamatan TKW, kita berharap bahwa suatu saat tak ada lagi “pahlawan devisa” yang diperlakukan layaknya budak.